Skip to main content

Gagal ke Siung dan Gedong Songo, Curuk dan Lawang Sewu pun jadi


Tanggal 14 Januari 2011 saya berencana pergi keluar Kota Salatiga untuk bersantai sejenak dari kesibukan. Rencana ini sudah dirancang dari tahun lalu bersama teman. Namun sayang, manusia boleh saja merencanakan tapi Yang Maha Kuasalah memutuskan. Rencana jalan-jalan ini tidak jadi.

Muncul ide dari teman yang lainnya dan mengajak ke luar Kota Salatiga. Kemana saja yang penting asyik..!. Rencana awalnya akan ke pantai Siung (Provinsi DIY). Lagi-lagi rencana ini tidak jadi, tapi hasrat untuk pergi bersantai ria tak juga surut. Akhirnya kemarin (Sabtu 15 Januari 2011), kami sepakat untuk jalan bersama ke situs Gedong Songo. Tujuan wisata itu adalah usulan saya sendiri, pasalnya selama saya tinggal di Kota Salatiga ini, saya belum pernah melihat situs tersebut. Padahal sebagai orang Salatiga, tidak klop rasanya jika tidak menginjakkan kaki di sana. Letak situs Gedong Songo tidak jauh dari Kota Salatiga sehingga sangat mudah diakses. Penduduk Salatiga pasti sudah familiar dengan Gedong Songo. 

Okay ! Gedong Songo. Kami jadi jalan ke sana dengan mobil Suzuki Swift. Kami semuanya berjumlah 5 orang.
Kalau mencoba-coba mengartikan arti kata ‘gedong songo’ dalam bahasa Jawa, gedong songo artinya sembilan bangunan. Berdasarkan foto-foto teman saya yang sudah ke sana, bangunannya adalah candi. Jadi dalam hayalan saya situs Gedong Songo adalah situs sejarah dengan karakteristik sembilan bangunan candi. 

Sampai di Gedong Songo pukul 14:45 WIB, entah siapa yang tidak beruntung di antara kami, di sana hujan deras. Hujannya disertai badai dan kabut tebal. Untuk masuk ke dalam, dijamin tidak akan menikmati pemandangan. Kecuali jika nekat hujan-hujanan, tapi tidak ada yang mau. 

Kami akhirnya kembali dan memilih makan makanan olahan tangan Bandungan. Makan sambil ngobrol di situ, akhirnya ada kesepakatan baru lagi. Kami akan ke lokasi air terjun Curuk Tujuh Bidadari dan setelah itu ke Lawang Sewu di Semarang untuk uji nyali. Sepakat !.
Setelah makan......wew.....
 Ngomong-ngomong model perjalanan seperti ini yang biasanya lebih berkesan. Tiba-tiba jalan ke satu tempat, tujuan selanjutnya nanti dipikirkan. Lain cerita kalau perjalanannya sudah dirancang sedemikian rupa tapi pada akhirnya tidak jadi, ini yang bikin kecewa. Jalan-jalan kami kemarin boleh dibilang dadakan. Dadadakan ke Curug dan ke Gedong Songo.

Sampai ke lokasi air terjun, kami sebenarnya tidak beruntung juga. Tapi dibuat supaya beruntung aja hehehehe,,,,, soalnya lokasi wisata harusnya sudah tutup pukul 16:00 WIB, kami tiba sudah lewat pukul 16:00 WIB. Lokasi wisatanya sudah tutup dan berdasarkan info penjaganya, pengunjung tidak dibolehkan mandi. Yaaaaaaaahhhhh,,, siapa juga yang mau mandi, hujan dan mendung begitu… lagian airnya juga tidak jernih karena mungkin hujan juga di hulu sungai. Orang cuman mau liat-liat saja heheheh….
Itu air ternjunnya di belakang
Lebih jelas lagi
Air Terjun Curug Tujuh Bidadari letaknya masih seputaran Sumowono, Bandungan, Jawa Tengah. Dapat dicapai kurang lebih 1 jam perjalanan kendaraan bermotor dari Kota Salatiga. Menurutku, air terjun ini biasa saja, air terjunnya juga tidak tinggi. Kalau air terjun seperti Curug Tujuh Bidadari di desa saya juga ada. Hanya yang membuat C7B (Curug Tujuh Bidadari) terkenal adalah legendanya. Konon di lokasi air terjun ini ada tujuh orang bidadari turun dari kayangan untuk mandi. Bicara tentang bidadari dari khayangan akan teringat wanita yang sangat cantik jelita dan terlihat sempurna. Akan langsung kelepak-kelepak melihatnya. Jangankan bidadari dari khayangan, bidadari dari Salatiga saya bisa langsung kelepak-kelepak melihatnya hahahaahahahah…. Berdasarkan legenda dan belajar dari film-film kolosal Indonesia, bidadari turun dari Khayangan terbang menggunakan gaun dan selendangnya yang panjang. Nah, mereka mandi di curug dan salah satu gaun bidadari disembunyikan Jaka Tarub. Akhirnya bidadari ini tidak bisa pulang ke khayangan dan jadilah milik Jaka Tarub. 
Masih di Curug
Main ke Curug mengingatkan saya akan air terjun Bantimurung. Salah satu tempat wisata alam di Provinsi Sulawesi Selatan. Tempatnya bagus, ada pembudidayaan kupu-kupu juga di sana. 

Puas berfoto-foto dan cerita di Curug, kami putar arah ke kota Semarang. Menuju tujuan kedua, gedung Lawang Sewu. Tapi makan malam dulu sebelum ke gedungnya. 

Sampai di Lawang Sewu pukul 20:20 WIB. Datang ke Lawang Sewu mungkin sudah kali ketiganya bagi saya. Tapi baru kemarin saya masuk dengan teman-teman. Harga tiket masuknya Rp.10.000. Lawang Sewu adalah sebutan masyakat sekitar pada bangunan Belanda yang berlokasi di pusat Kota Semarang itu. Lawang Sewu secara harafiah dalam bahasa Jawa artinya seribu pintu. Kalau diperhatikan memang bangunan Lawang Sewu yang berbentuk huruh ‘L’ tersebut memiliki pintu yang sangat banyak. Bangunannya masih kokoh, hanya cat-cat dindingnya yang sudah mulai kusam. 

Lawang Sewu dibangun pada tahun 1890an oleh perusahaan kereta api yang diberi lesensi pemerintah colonial Belanda. Bangunan Lawang Sewu dulunya difungsikan sebagai kantor perusahaan kereta api dan mengorganisir jasa layanan kereta api pertama di Hindia Belanda. Jalurnya menghubungkan daerah penghasil pertanian dan pelabuhan. Bangunan Lawang Sewu berlantai tiga dan ada juga basement (ruang bawah tanah). Berdasarkan sejarah, basement Lawang Sewu dulunya adalah penjara. Penjara mengerikan. Ada penjara berdiri, ada penjara jongkok. Kemudian di lantai tiga pernah dilakukan pembantaian tragis oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada saat penjajahan beralih kepada Jepang, Lawang Sewu pun berpindah tangan ke Jepang. 

Lawang Sewu pernah diperebutkan oleh pejuang muda Indonesia dari tangan penjajah. Pada saat peperangan berkecamuk, banyak orang gugur di Lawang Sewu termasuk pejuang muda. Untuk mengenang jasa perjuangan para pemuda tersebut dibangunlah Tugu Muda di depan Lawang Sewu.

Satu lagi yang membuat Lawang Sewu banyak dikenal yaitu nuansa horror didalamnya. Mungkin karena di tempat ini dulunya banyak terjadi pembantaian sadis dan banyak korban terbunuh pada saat perang. Bagi orang yang bisa melihat makhluk halus, katanya ada banyak di Lawang Sewu. Tapi waktu saya kesana kemarin, saya tidak melihat apa-apa. Saya memang tidak dapat melihatnya hehehehehehe..

Puas jalan dan berfoto ria di Lawang Sewu, kami akhirnya cabut dari situ. Masih mutar-mutar di Semarang setelah itu kembali ke Salatiga. Sampai di Kost jam 1 malam. Ma’jaaaaaannnnnnnggggggg…

Hmmmmm,,, perjalanan yang asyik juga. Terima kasih untuk kebersamaan kita kemarin teman….


Comments

Popular posts from this blog

Ma' tutu nene'

Budaya orang Indonesia menekankan kepada setiap generasi agar mengetahui garis keturunannya hingga beberapa generasi ke belakang. Orang-orang tua akan menurunkan silsilah keluarga itu kepada anak-anaknya secara lisan. Inilah yang menjadi salah satu faktor yang membuat kekeluargaan masyarakat Indonesia sangat erat, dan menjadi ciri tersendiri dalam tatanan masyarakat global.  Warisan budaya lokal kita sebagai masyarakat Indonesia sangatlah kaya. Ditambah dengan kearifan lokal yang terbentuk dalam pergaulan masyarakat sehari-hari semakin membuat kita bangga sebagai masyarakat Indonesia.  Tantangan bagi generasi muda untuk menjaga nilai-nilai luhur yang telah ditanamkan oleh para pendahulu. Warisan budaya menjadi hal esensial untuk tetap kita jaga. Siapapun kita, baik birokrat ataupun sebagai penghulu adat.  Saya sendiri yang tumbuh dan berkembang dalam budaya Toraja sangat ditekankan untuk mengerti akan nilai-nilai budaya Toraja. Itu bukan menjadi pelajaran formal di sekolah tetapi se

Bangunan makam yang unik dari masyarakat Toraja

Halo semuanya, ini adalah tulisan ketiga yang saya kelompokkan ke dalam tulisan tentang budaya lokal, terkhusus mengenai masyarakat Toraja yang tinggal di wilayah Sulawesi Selatan. Kali ini saya akan menulis kebiasaan masayarakat Toraja yang membangun makam bagi keluarga. Ini mungkin janggal kedengaran bagi sahabat blogger bahwa sebagian kecil/besar masyarakat Toraja membangun makan keluarga. Makam seperti ini secara umum di kenal dalam kalangan masayarakat Toraja dengan sebutan  ' patane ' atau ' patani '. Bangunan ' patane ' banyak variasinya, tapi secara umum desain dindingnya berupa bujursangkar atau persegi panjang. Bagian yang banyak divariasi adalah bagian atap. Salah satu 'patane' di daerah Kec. Bastem, Kabupaten Luwu. Courtesy of Joel Pasande 'patane' di daerah gunung Singki', Toraja Utara. Courtesy of Aswan Pasande. 'patane' di daerah gunung Singki', Toraja Utara. Courtesy of Aswan Pasande. 

Menyusuri jalan Trans Sulawesi dari Poso ke Palu

Perjalanan darat yang cukup lama saya lalui selama ini di pulau Sulawesi adalah jalur Makassar – Palopo atau sebaliknya yang menghabiskan waktu lebih dari 8 jam perjalanan. Waktu tersebut bisa menjadi sangat lama, atau bisa menjadi menyenangkan dengan sambil menikmati pemandangan selama perjalanan, tergantung bagaimana menikmati perjalanan tersebut.   Tanggal 26 Maret 2018 lalu saya berkesempatan menyusuri jalur darat yakni jalan Trans Sulawesi dari Kabupaten Poso ke Kota Palu. Kebetulan juga saya ada perjalanan dinas bersama beberapa rekan, dan atasan kami mengajak untuk melewati jalur darat. Saya menganggap jalur darat Poso-Palu ini cukup ringan, karena saya sejak kecil sudah terbiasa dengan jalur darat yang menantang, entah itu dari Palopo ke kampung saya, atau dari Palopo ke Toraja. Dalam benak saya, pengalaman jalur darat saya sudah banyak. Namun, dari informasi teman-teman di Poso jalur Trans Sulawesi dari Poso ke Palu rawan longsor, dan sering buka-tutup jalur. Pada saat Op