Skip to main content

Saya Menyesal Kasih Uang ke Peminta-minta Ini

Semakin banyak saja cara yang dipakai para meminta-minta di jalanan buat mendapatkan uang dari pengguna jalan. Alasannya pun ketika meminta uang sungguh di buat-buat. Saya beberapa kali menemui (ditemui) dan kebanyakan alasannya adalah meminta sangu buat pulang rumah karena sudah tidak punya uang. Peminta-minta untuk kategori ini kelihatan lebih rapih dan bersih. Seperti yang dituliskan seorang kompasioner Afandi Sido bahwa peminta-minta jenis ini justru tidak punya kecacatan fisik pada tubuhnya.

Saat membuka laman Kompasiana malam ini, tulisan yang dibuat oleh Afandi Sido tersebut masuk HL. Kebetulan saya punya kisah yang sama dan tertarik membagikannya di sini. Saya tertarik menuliskan cerita ini karena memang tadi pagi (10/10/2011) saya betul-betul dibuat jengkel salah seorang peminta-minta.


Kejadiannya berawal ketika saya bersama beberapa orang sedang menunggu bis di depan Terminal Purabaya Sidoarjo tadi pagi sekitar pukul 07.40 WIB. Bis yang saya tunggu adalah trayek Bungarasih-Jembatan Merah (Surabaya) dan bis ini hanya sesekali lewat, mungkin setiap 30 menit. Saya menunggu bis sudah sekitar 10 menit dan bisnya belum ada juga yang nongol.

Tiba-tiba ada seorang bapak paruh baya datang mendekati saya dan langsung capcus ngomong. Penampilannya cukup rapi, berbaju kemeja kotak-kotak motif biru putih, menggunakan celana panjang kain dan sandal jepit sebagai alas kaki. Dia juga meggendong tas samping, tapi anehnya tas tersebut malah dibungkus kantong plastik warna merah. Awalnya beliau berbicara bahasa Jawa kromo dan karena saya bukan orang Jawa, saya tidak paham apa yang dia maksud. Saya coba menanggapinya menggunakan bahasa Indonesia sehingga dia sedikit mengubah gaya bicaranya. Ujung-ujungnya dia bilang begini “nganu mas… minta sangu buat balik omah. sekarang tidak punya uang”. Dia tidak menyebutkan berapa nominalnya.

Saya cuma geleng-geleng kepala kepadanya menandakan saya tidak bersedia memberikan uang dan akhirnya bapak ini berpaling dari saya. Dalam pikiran saya bilang kalau orang ini pasi minta uang dengan alasan yang dibuat-buat. 

Pikiran saya tiba-tiba berubah, karena kebetulan di kantong baju saya ada uang kecil. “Hitung-hitung bisa membantu”, pikirku. Saya langsung ambil selembar uang pecahan Rp.2000 dan langsung memberikannya kepada bapak yang hampir meninggalkan saya itu

Setelah saya berikan uang, si bapak itu kemudian pergi dan menghilang diantara kios-kios PKL.

Tak lama kemudian (sekitar 5 menit), si bapak yang meminta uang tadi berbalik arah dan kembali melewati jalan trotoar yang saya tempati menunggu bis. Yang bikin saya jengkel adalah bapak ini malah kembali dengan menenteng sebatang rokok (sudah dibakar ujungnya) sambil sesekali menghisapnya.

Sialan, berarti uang yang saya berikan itu hanya buat beli rokok?. Huah, ini saya hanya menggerutu dalam hati sambil melihat sinis kepada si bapak yang saya kasih uang tadi itu.

Modus seperti ini yang kerap kali digunakan para peminta-minta di jalanan untuk mengumpulkan uang sangu dari pengguna jalan raya. Kita mesti jeli melihat mereka dan membedakan mana yang peminta-minta “jadi-jadian” dan mana yang betul-betul butuh uang sangu untuk kembali ke rumah. Supaya kita tidak kecolongan membantu orang yang tidak tepat.

Comments

Popular posts from this blog

Ma' tutu nene'

Budaya orang Indonesia menekankan kepada setiap generasi agar mengetahui garis keturunannya hingga beberapa generasi ke belakang. Orang-orang tua akan menurunkan silsilah keluarga itu kepada anak-anaknya secara lisan. Inilah yang menjadi salah satu faktor yang membuat kekeluargaan masyarakat Indonesia sangat erat, dan menjadi ciri tersendiri dalam tatanan masyarakat global.  Warisan budaya lokal kita sebagai masyarakat Indonesia sangatlah kaya. Ditambah dengan kearifan lokal yang terbentuk dalam pergaulan masyarakat sehari-hari semakin membuat kita bangga sebagai masyarakat Indonesia.  Tantangan bagi generasi muda untuk menjaga nilai-nilai luhur yang telah ditanamkan oleh para pendahulu. Warisan budaya menjadi hal esensial untuk tetap kita jaga. Siapapun kita, baik birokrat ataupun sebagai penghulu adat.  Saya sendiri yang tumbuh dan berkembang dalam budaya Toraja sangat ditekankan untuk mengerti akan nilai-nilai budaya Toraja. Itu bukan menjadi pelajaran formal di sekolah tetapi se

Bangunan makam yang unik dari masyarakat Toraja

Halo semuanya, ini adalah tulisan ketiga yang saya kelompokkan ke dalam tulisan tentang budaya lokal, terkhusus mengenai masyarakat Toraja yang tinggal di wilayah Sulawesi Selatan. Kali ini saya akan menulis kebiasaan masayarakat Toraja yang membangun makam bagi keluarga. Ini mungkin janggal kedengaran bagi sahabat blogger bahwa sebagian kecil/besar masyarakat Toraja membangun makan keluarga. Makam seperti ini secara umum di kenal dalam kalangan masayarakat Toraja dengan sebutan  ' patane ' atau ' patani '. Bangunan ' patane ' banyak variasinya, tapi secara umum desain dindingnya berupa bujursangkar atau persegi panjang. Bagian yang banyak divariasi adalah bagian atap. Salah satu 'patane' di daerah Kec. Bastem, Kabupaten Luwu. Courtesy of Joel Pasande 'patane' di daerah gunung Singki', Toraja Utara. Courtesy of Aswan Pasande. 'patane' di daerah gunung Singki', Toraja Utara. Courtesy of Aswan Pasande. 

Menyusuri jalan Trans Sulawesi dari Poso ke Palu

Perjalanan darat yang cukup lama saya lalui selama ini di pulau Sulawesi adalah jalur Makassar – Palopo atau sebaliknya yang menghabiskan waktu lebih dari 8 jam perjalanan. Waktu tersebut bisa menjadi sangat lama, atau bisa menjadi menyenangkan dengan sambil menikmati pemandangan selama perjalanan, tergantung bagaimana menikmati perjalanan tersebut.   Tanggal 26 Maret 2018 lalu saya berkesempatan menyusuri jalur darat yakni jalan Trans Sulawesi dari Kabupaten Poso ke Kota Palu. Kebetulan juga saya ada perjalanan dinas bersama beberapa rekan, dan atasan kami mengajak untuk melewati jalur darat. Saya menganggap jalur darat Poso-Palu ini cukup ringan, karena saya sejak kecil sudah terbiasa dengan jalur darat yang menantang, entah itu dari Palopo ke kampung saya, atau dari Palopo ke Toraja. Dalam benak saya, pengalaman jalur darat saya sudah banyak. Namun, dari informasi teman-teman di Poso jalur Trans Sulawesi dari Poso ke Palu rawan longsor, dan sering buka-tutup jalur. Pada saat Op