Skip to main content

Bangunan makam yang unik dari masyarakat Toraja


Halo semuanya, ini adalah tulisan ketiga yang saya kelompokkan ke dalam tulisan tentang budaya lokal, terkhusus mengenai masyarakat Toraja yang tinggal di wilayah Sulawesi Selatan.

Kali ini saya akan menulis kebiasaan masayarakat Toraja yang membangun makam bagi keluarga. Ini mungkin janggal kedengaran bagi sahabat blogger bahwa sebagian kecil/besar masyarakat Toraja membangun makan keluarga. Makam seperti ini secara umum di kenal dalam kalangan masayarakat Toraja dengan sebutan  'patane' atau 'patani'. Bangunan 'patane' banyak variasinya, tapi secara umum desain dindingnya berupa bujursangkar atau persegi panjang. Bagian yang banyak divariasi adalah bagian atap.

Salah satu 'patane' di daerah Kec. Bastem, Kabupaten Luwu. Courtesy of Joel Pasande

'patane' di daerah gunung Singki', Toraja Utara. Courtesy of Aswan Pasande.
'patane' di daerah gunung Singki', Toraja Utara. Courtesy of Aswan Pasande. 
Variasi 'patane' pada bagian atap secara umum ada tiga model. Model pertama [1] adalah model datar sehingga bentuk patane ini seperti bangunan kubus atau balok. Model kedua [2] mengikuti model rumah adat toraja jaman dulu. Model kedua ini adalah model rumah toraja jaman dahulu berukuran mini. Jika tidak jeli melihat bangunan 'patane' ini, bisa-bisa seseorang menganggapnya sebagai rumah sungguhan, padahal itu adalah bangunan 'patane'. Yang membedakan 'patane' model ke dua ini dengan rumah sungguhan adalah ukuran fisiknya. Model ketiga [3] adalah atap bentuk datar dan di atasnya ditambah bangunan tongkonan mini. Ini yang paling sering dibangun oleh masyarakat Toraja.

Material bagunan utama (kecuali banua tongkonan yang diletakkan di bagian atas) dari 'patane' adalah tembok. Bukan rahasia lagi jika bangunan 'patane' yang dibuat tersebut terlihat lebih mewah ketimbang rumah pribadi dari keluarga yang membangunnya. Bagaimana tidak, lantai 'patante' terbuat dari keramik... sedangkan lantai rumah keluarga yang membangun terbuat dari kayu.

Pertanyaan yang muncul kemudian bahwa mengapa sampai bangunan makam dibuat lebih mewah ketimbang rumah sendiri?. Untuk salah satu alasan saya bisa menjawabnya jika ditinjau dari segi budaya masyarakat suku bangsa Toraja. Suku bangsa Toraja sangat menghormati orang tua/nenek moyangnya hingga akhir hayat. Ini akan mulai terlihat semenjak orang tua meninggal. Penghormata ketika meninggal ini akan terlihat ketika diupacarakan sebelum dikuburkan. Secara umum, upacara sebelum penguburan ini berlangsung selama tiga hari. Pusara tempat menyemayamkan jasad orang tua yang sudah meninggal tersebut juga dibuat sebaik-baiknya. Maka dibuatlah 'patane'. Bahkan di daerah Baruppu (Toraja Utara), ada suatu waktu tertentu dimana pakaian jenazah diganti oleh anggota keluarganya yang masih hidup. Hal ini dilakukan sebagia penghormatan kepada lehulur yang sudah meninggal. 

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ma' tutu nene'

Budaya orang Indonesia menekankan kepada setiap generasi agar mengetahui garis keturunannya hingga beberapa generasi ke belakang. Orang-orang tua akan menurunkan silsilah keluarga itu kepada anak-anaknya secara lisan. Inilah yang menjadi salah satu faktor yang membuat kekeluargaan masyarakat Indonesia sangat erat, dan menjadi ciri tersendiri dalam tatanan masyarakat global.  Warisan budaya lokal kita sebagai masyarakat Indonesia sangatlah kaya. Ditambah dengan kearifan lokal yang terbentuk dalam pergaulan masyarakat sehari-hari semakin membuat kita bangga sebagai masyarakat Indonesia.  Tantangan bagi generasi muda untuk menjaga nilai-nilai luhur yang telah ditanamkan oleh para pendahulu. Warisan budaya menjadi hal esensial untuk tetap kita jaga. Siapapun kita, baik birokrat ataupun sebagai penghulu adat.  Saya sendiri yang tumbuh dan berkembang dalam budaya Toraja sangat ditekankan untuk mengerti akan nilai-nilai budaya Toraja. Itu bukan menjadi pelajaran formal di sekolah tetapi se

Menyusuri jalan Trans Sulawesi dari Poso ke Palu

Perjalanan darat yang cukup lama saya lalui selama ini di pulau Sulawesi adalah jalur Makassar – Palopo atau sebaliknya yang menghabiskan waktu lebih dari 8 jam perjalanan. Waktu tersebut bisa menjadi sangat lama, atau bisa menjadi menyenangkan dengan sambil menikmati pemandangan selama perjalanan, tergantung bagaimana menikmati perjalanan tersebut.   Tanggal 26 Maret 2018 lalu saya berkesempatan menyusuri jalur darat yakni jalan Trans Sulawesi dari Kabupaten Poso ke Kota Palu. Kebetulan juga saya ada perjalanan dinas bersama beberapa rekan, dan atasan kami mengajak untuk melewati jalur darat. Saya menganggap jalur darat Poso-Palu ini cukup ringan, karena saya sejak kecil sudah terbiasa dengan jalur darat yang menantang, entah itu dari Palopo ke kampung saya, atau dari Palopo ke Toraja. Dalam benak saya, pengalaman jalur darat saya sudah banyak. Namun, dari informasi teman-teman di Poso jalur Trans Sulawesi dari Poso ke Palu rawan longsor, dan sering buka-tutup jalur. Pada saat Op