Skip to main content

Ma' tutu nene'

Budaya orang Indonesia menekankan kepada setiap generasi agar mengetahui garis keturunannya hingga beberapa generasi ke belakang. Orang-orang tua akan menurunkan silsilah keluarga itu kepada anak-anaknya secara lisan. Inilah yang menjadi salah satu faktor yang membuat kekeluargaan masyarakat Indonesia sangat erat, dan menjadi ciri tersendiri dalam tatanan masyarakat global. 

Warisan budaya lokal kita sebagai masyarakat Indonesia sangatlah kaya. Ditambah dengan kearifan lokal yang terbentuk dalam pergaulan masyarakat sehari-hari semakin membuat kita bangga sebagai masyarakat Indonesia.  Tantangan bagi generasi muda untuk menjaga nilai-nilai luhur yang telah ditanamkan oleh para pendahulu.

Warisan budaya menjadi hal esensial untuk tetap kita jaga. Siapapun kita, baik birokrat ataupun sebagai penghulu adat. 

Saya sendiri yang tumbuh dan berkembang dalam budaya Toraja sangat ditekankan untuk mengerti akan nilai-nilai budaya Toraja. Itu bukan menjadi pelajaran formal di sekolah tetapi secara informal terus-menerus diajarkan olah para orang tua. Berdasarkan penuturan dari orang Toraja sendiri, nenek moyang mereka berasal dari khayangan yang turun pada sebuah pulau Lebukan. Itu adalah kepercayaan kuno dan kini menjadi mythos. 

Dalam bahasa Toraja, Ma' tutu Nenek adalah bahan 'wajib' yang diajarkan orang tua kepada anak-anaknya. 

Ma' Tutu Nenek
Ma' tutu nenek ialah mengurai pohon keluarga dalam bahasa Toraja. Family tree istilah internasionalnya. Jadi, setiap anak pasti akan mendengarkan penjelasan tentang pohon keluarganya dari orang tua, baik dari ayah dan ibu atau dari kakek atau nenek. Hal ini dilakukan suapaya anak mengerti darah keluarganya mengalir kemana saja, artinya dia akan mengerti keluarga sedarahnya. Semangat kekeluargaan yang erat itu kemudian dipersatukan dalam satu tongkonan. 

Tongkonan adalah sebutan persekutuan keluarga Toraja dan tongkonan ini disimbolkan dalam rumah adat Toraja yang juga di sebut rumah Tongkonan (bahasa Toraja : Banua Tongkonan).
Tongkonan

Dalam rumah Tongkonan (Banua Tongkonan) inilah akan bersekutu sebuah trah keluarga. Satu trah akan menghelat kegiatan adat di rumah Tongkonan seperti diilustrasikan pada gambar di atas.

Budaya ini akan tetap ada jika generasi-genenasi Toraja berkomitmen untuk melestarikan budayanya termasuk   memperhatikan orang tua yang sedang ma' tutu nenek (sedang mengurai pohon keluarga).

Biasaya sebagai orang muda menyepelehkan ma' tutu nenek itu. Kadang dianggap tidak penting dan kuno. Jika ada orang tua yang sedang ma' tutu nenek, anak muda mendengarkan, tapi tidak tahu apakah tinggal dalam telinga atau keluar di telinga sebelahnya. Mungkin lebih penting mendengarkan gosip selebriti pada acara infotainment atau menonton Liga Inggris atau mungkin FBan yang sekarang ngetrend.

Saya sendiri mengalami hal yang sama. Ketika orang tua sedang ma' tutu nenek, saya malas mendengarkan. Belum waktunya menurutku. Padalah itu diajarkan sejak saya kecil dulu. Baru sekarang mulai menyadari bahwa memang sebagai masyarakat Indonesia, apalagi sebagai bagian dari budaya luhur nenek moyang kita maka kita semestinya paham dan mengetahui betul seluk-beluk kita sendiri. 
Tadi pagi waktu saya menelfon orang tua kandung saya, kembali saya diajarkan ma' tutu nenek. Ma' tutu nenek malah diajarkan oleh ibu saya sendiri. Saya baru mulai sedikit-demi sedikit memahaminya. Sayang tidak ada literatur tertulis yang mendukung, hanya mengandalkan tutur lisan yang disampaikan langsung. Karena dulu saya tidak antusias pada ma' tutu nenek dari orang tua maka imbasnya saya kurang mengetahui asal-usul saya sendiri. Semoga kedepan bisa lebih baik. 

Nama
Nama orang Toraja biasanya mengandung makna tersendiri. Itu akan terlihat pada nama belakang seperti: Sampe Toding, Toding Bunga', Tiranda, Randan Bua', Salu Bongga, Pongtiku, Pongtiranda, Pasolang, Renden dan lain lain. Nama belakang itu mencirikan garis keturunannya karena nama belakang merupakan nama yang diambil dari nama orang tuanya. Bisa dari ayah atau ibu, kakek, hingga ke kakek buyut atau ke kakek kakek kakek kakek buyut hehehehehh.. 

Penggunaan nama itu mirip denga suku Batak dari Sumatra atau Sumba dari Nusa Tenggara. 

Saya sendiri menggunakan nama Pasanje. Pasanje adalah nama nenek saya, tapi saya kurang tahu detailnya. Apakah itu nenek buyut, atau nenek buyutnya nenek buyut saya, saya juga masih belum mengetahuinya sampai sekarang. 

Nah, dari tulisan ini satu yang ditekankan kepada rekan-rekan sekalian bahwa dalam lingkungan kehidupan sosial kita, nilai-nilai budaya dan kearifan lokal itu sangat penting untuk kita perhatikan. Apalagi bagi genenasi muda yang mungkin darah mudahnya masih panas, jangan malas dengan tema budaya. Jangan tunggu hasil budaya kita dicaplok negara lain!

Go Indonesia..!

Comments

Popular posts from this blog

Bangunan makam yang unik dari masyarakat Toraja

Halo semuanya, ini adalah tulisan ketiga yang saya kelompokkan ke dalam tulisan tentang budaya lokal, terkhusus mengenai masyarakat Toraja yang tinggal di wilayah Sulawesi Selatan. Kali ini saya akan menulis kebiasaan masayarakat Toraja yang membangun makam bagi keluarga. Ini mungkin janggal kedengaran bagi sahabat blogger bahwa sebagian kecil/besar masyarakat Toraja membangun makan keluarga. Makam seperti ini secara umum di kenal dalam kalangan masayarakat Toraja dengan sebutan  ' patane ' atau ' patani '. Bangunan ' patane ' banyak variasinya, tapi secara umum desain dindingnya berupa bujursangkar atau persegi panjang. Bagian yang banyak divariasi adalah bagian atap. Salah satu 'patane' di daerah Kec. Bastem, Kabupaten Luwu. Courtesy of Joel Pasande 'patane' di daerah gunung Singki', Toraja Utara. Courtesy of Aswan Pasande. 'patane' di daerah gunung Singki', Toraja Utara. Courtesy of Aswan Pasande. 

Menyusuri jalan Trans Sulawesi dari Poso ke Palu

Perjalanan darat yang cukup lama saya lalui selama ini di pulau Sulawesi adalah jalur Makassar – Palopo atau sebaliknya yang menghabiskan waktu lebih dari 8 jam perjalanan. Waktu tersebut bisa menjadi sangat lama, atau bisa menjadi menyenangkan dengan sambil menikmati pemandangan selama perjalanan, tergantung bagaimana menikmati perjalanan tersebut.   Tanggal 26 Maret 2018 lalu saya berkesempatan menyusuri jalur darat yakni jalan Trans Sulawesi dari Kabupaten Poso ke Kota Palu. Kebetulan juga saya ada perjalanan dinas bersama beberapa rekan, dan atasan kami mengajak untuk melewati jalur darat. Saya menganggap jalur darat Poso-Palu ini cukup ringan, karena saya sejak kecil sudah terbiasa dengan jalur darat yang menantang, entah itu dari Palopo ke kampung saya, atau dari Palopo ke Toraja. Dalam benak saya, pengalaman jalur darat saya sudah banyak. Namun, dari informasi teman-teman di Poso jalur Trans Sulawesi dari Poso ke Palu rawan longsor, dan sering buka-tutup jalur. Pada saat Op