Sureq Galigo
Tak diketahui pasti siapa yang mengarang kisah ini. Menurut penelitian yang dilakukan terhadap karya La Galigo sendiri, besar kemungkinan ditulis oleh perempuan bangsawan. Kesimpulan ini didasarkan pada dua hal. Pertama, adanya kerancuan geografis di La Galigo. Tempat yang jauh, disebutkan dicapai hanya dalam waktu sebentar. Sementara tempat yang sebenarnya dekat, dicapai dalam waktu berbulan-bulan. Ini menandakan si pembuatnya orang yang tak tahu dunia perlayaran. Kedua, La Galigo menggambarkan secara detil upacara adat Bugis. Hal ini hanya mungkin diceritakan oleh seorang perempuan bangsawan. Hmm, kalo emang bener demikian, kaum cewek patut berbangga tuh. Karena bukan cuma cowok aja yang bisa buat epos hebat, cewek juga bisa.
Karya La Galigo ini merupakan suatu karya sastra yang sangat agung . Bila dibandingkan dengan budaya daerah-daerah lain di Indonesia yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu di Jawa atau Bali, La Galigo memiliki keunikan tersendiri yakni dari gaya penyampaian, bahasa, dan formula yang digunakan merupakan campuran tradisi lisan dan tulisan.
Sedang bagian kedua berkisah mengenai tokoh utama, Sawerigading dan putranya I La Galigo. Kedua tokoh ini sangat unik. Kenapa? Karena gambaran mengenai keduanya nggak sesuai banget dengan bayangan kita akan sosok tokoh utama dalam sebuah epos (kisah kepahlawanan).
La Galigo dimana sekarang?
Manuskrip Sureq Galigo dari abad ke-19 |
Sureq Galigo, atau Galigo, atau disebut juga La Galigo adalah sebuah epik mitos penciptaan dari peradaban Bugis di Sulawesi Selatan (sekarang bagian dari Republik Indonesia) yang ditulis diantara abad ke-13 dan ke-15 dalam bentuk puisi bahasa Bugis kuno, ditulis dalam huruf Lontara kuno - Bugis yang arkaik, alias bahasa yang gak lazim dipakai. Puisi ini terdiri dalam sajak bersuku lima dan selain menceritakan kisah asal-usul manusia, juga berfungsi sebagai almanak praktis sehari-hari. Kisah ini diceritakan secara lisan maupun tulisan.
Tak diketahui pasti siapa yang mengarang kisah ini. Menurut penelitian yang dilakukan terhadap karya La Galigo sendiri, besar kemungkinan ditulis oleh perempuan bangsawan. Kesimpulan ini didasarkan pada dua hal. Pertama, adanya kerancuan geografis di La Galigo. Tempat yang jauh, disebutkan dicapai hanya dalam waktu sebentar. Sementara tempat yang sebenarnya dekat, dicapai dalam waktu berbulan-bulan. Ini menandakan si pembuatnya orang yang tak tahu dunia perlayaran. Kedua, La Galigo menggambarkan secara detil upacara adat Bugis. Hal ini hanya mungkin diceritakan oleh seorang perempuan bangsawan. Hmm, kalo emang bener demikian, kaum cewek patut berbangga tuh. Karena bukan cuma cowok aja yang bisa buat epos hebat, cewek juga bisa.
Epik ini dalam masyarakat Bugis berkembang sebagian besar melalui tradisi lisan dan masih dinyanyikan pada kesempatan-kesempatan tradisional Bugis penting. Versi tertulis hikayat ini yang paling awal diawetkan pada abad ke-18, di mana versi-versi yang sebelumnya telah hilang akibat serangga, iklim atauperusakan. Akibatnya, tidak ada versi Galigo yang pasti atau lengkap, namun bagian-bagian yang telah diawetkan berjumlah 6.000 halaman atau 300.000 baris teks, membuatnya menjadi salah satu karya sastra terbesar. Sinopsisnya saja memakan 2851 halaman folio. Enam kali tebal buku Harry Potter seri ketujuh yang berjumlah 1008 halaman. La Galigo merupakan epos milik Indonesia yang tak kalah hebatnya dengan epos Mahabarata dan Ramayana dari India. Hal inilah yang menjadilan La Galigo menjadi epos terpanjang di dunia.
Epos La Galigo |
Uniknya La Galigo
Kisah La Galigo sendiri secara umum terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama menceritakan tentang penciptaan alam semesta yang berawal dengan seorang raja dunia atas atau raja langit yang bernama La Patiganna. Bagian pertama ini dianggap sakral, sehingga tak boleh dibaca sembarang orang. Hanya kaum bangsawan saja yang diperkenankan membaca dan menyimpan naskah ini. Karena itu nggak heran, tak banyak yang bisa kita ketahui mengenai bagian pertama ini.
Pohon Keluarga La Galigo |
Untuk mudahnya, coba deh ingat-ingat lagi kisah Mahabarata. Di sini tokoh utamanya adalah lima bersaudara Pandawa. Kelima tokoh ini digambarkan bijaksana, welas asih, setia pada kebenaran, dan mendahulukan kepentingan umum dari kepentingan diri sendiri. Setiap membaca epos, kita sering disuguhi sosok tokoh utama dengan karakter ini. Tapi, di La Galigo, gambaran tokoh utamanya berbalik 180 derajat. Sawerigading dan I La Galigo digambarkan nakal, manja, dan keras kepala. Apa maunya selalu ingin diturutin, kalo nggak, bakal merajuk sampe ke langit. Duuh, puyeng deh.
Tapi, itulah uniknya La Galigo. Gambaran mengenai ketidaksempuraan tokoh-tokohnya inilah yang bikin banyak peneliti jatuh cinta. Melalui kisah La Galigo, kita justru secara tak langsung belajar, bahwa manusia setinggi apapun status kebangsawanannya tetaplah manusia biasa. Mereka juga punya kelemahan. Ini membuat, kita merasa tak berjarak dengan tokoh-tokohnya. Menurut Nirwan Ahmad Arsuka, kurator Bentara Budaya Jakarta, kisah La Galigo jauh melampaui zamannya. Maksudnya, di saat epos-epos yang ada lebih banyak bercerita tentang kehebatan seorang tokoh utama, La Galigo justru menempatkan tokohnya sebagai manusia yang teramat sangat biasa meskipun mereka adalah anak cucu para dewa. Tokoh-tokoh La Galigo dilahirkan dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada. Bukankah penggambaran tokoh utama dengan model begini lebih banyak kita temui di zaman sekarang? Nah, itulah yang dimaksudkan dengan, kisah La Galigo ditulis jauh melampaui zamannya.
La Galigo dimana sekarang?
Naskah sejarah atau manuskrip terpanjang di dunia yang berasal dari Tanah Luwu tersebut kini sedang berada di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Naskah ini disimpan di lantai dua. Dalam sebuah ruangan bersuhu 18 derajat Celcius. Di ruangan ini tersimpan ratusan fragmen La Galigo dalam bentuk manuskrip. Koleksi naskah La Galigo di perpustakaan ini merupakan yang paling lengkap di dunia. Karena koleksi milik bangsawan Bugis sendiri tak ada yang selengkap itu.
Naskah La Galigo di sini tak semuanya milik Colliq Pujie. Ada juga diantaranya milik bangsawan Bugis yang lain. Misalnya saja manuskrip dari daun palma berisi tiga episode La Galigo. Naskah ini ditemukan di sebuah rumah di Lamuru. Diserahkan oleh J.G.F. Van Son ke perpustakaan pada 20 April 1906. Namun, naskah ini tak boleh disentuh apalagi dibaca, mengingat usianya yang sudah begitu tua. Bila ingin membaca, kita dipersilahkan melihatnya dalam bentuk film mikro.
Menurut Roger Tol, direktur Perpustakaan KITLV (Institut Kerajaan untuk Linguistik dan Antropologi), ada alasan khusus mengapa La Galigo tak mungkin di simpan di bumi tempat lahirnya La Galigo, Sulawesi. Iklim daerah ini terlalu panas bagi manuskrip tua. Sedang Belanda, memiliki iklim lebih bersahabat. Tapi, mungkin ada alasan lain mengapa naskah ini disimpan di Belanda. Banyak naskah-naskah asli La Galigo yang hancur karena kecerobohan para pemiliknya. Misalnya saja sebuah naskah La Galigo milik Colliq Pujie yang diwariskan pada keturunannya. Naskah itu hancur karena kucing melahirkan di atasnya. Lalu, ketika dicuci dan dijemur,hujan malah datang dan mengguyur manuskrip, hingga lebur tak bersisa. Uh, malangnya. Sepertinya, kita memang harus belajar banyak dari Belanda, bagaimana cara memperlakukan warisan sejarah nenek moyang
.
Drs. S. Koolhof sebagai pustakawan di KILTV (Lembaga Bahasa dan Budaya Asia Tenggara -Karibia) di Leiden mengangkat sejarah La Galigo dalam Skripsinya. Pada paragraf-paragraf selanjutnya dari tulisan ini merupakan hasil rangkuman Dialog Interaktif Radio Nederland dengan stasiun mitra Radio Bharata FM di Makassar bersama Drs Sirtjo Koolhof. Pemandu acara di stasiun mitra Radio Bharata FM adalah Erik Alamsyah dan didampingi oleh Bapak Karim Beso dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kota Makasar.
Naskah La Galigo di sini tak semuanya milik Colliq Pujie. Ada juga diantaranya milik bangsawan Bugis yang lain. Misalnya saja manuskrip dari daun palma berisi tiga episode La Galigo. Naskah ini ditemukan di sebuah rumah di Lamuru. Diserahkan oleh J.G.F. Van Son ke perpustakaan pada 20 April 1906. Namun, naskah ini tak boleh disentuh apalagi dibaca, mengingat usianya yang sudah begitu tua. Bila ingin membaca, kita dipersilahkan melihatnya dalam bentuk film mikro.
Menurut Roger Tol, direktur Perpustakaan KITLV (Institut Kerajaan untuk Linguistik dan Antropologi), ada alasan khusus mengapa La Galigo tak mungkin di simpan di bumi tempat lahirnya La Galigo, Sulawesi. Iklim daerah ini terlalu panas bagi manuskrip tua. Sedang Belanda, memiliki iklim lebih bersahabat. Tapi, mungkin ada alasan lain mengapa naskah ini disimpan di Belanda. Banyak naskah-naskah asli La Galigo yang hancur karena kecerobohan para pemiliknya. Misalnya saja sebuah naskah La Galigo milik Colliq Pujie yang diwariskan pada keturunannya. Naskah itu hancur karena kucing melahirkan di atasnya. Lalu, ketika dicuci dan dijemur,hujan malah datang dan mengguyur manuskrip, hingga lebur tak bersisa. Uh, malangnya. Sepertinya, kita memang harus belajar banyak dari Belanda, bagaimana cara memperlakukan warisan sejarah nenek moyang
.
Drs. S. Koolhof sebagai pustakawan di KILTV (Lembaga Bahasa dan Budaya Asia Tenggara -Karibia) di Leiden mengangkat sejarah La Galigo dalam Skripsinya. Pada paragraf-paragraf selanjutnya dari tulisan ini merupakan hasil rangkuman Dialog Interaktif Radio Nederland dengan stasiun mitra Radio Bharata FM di Makassar bersama Drs Sirtjo Koolhof. Pemandu acara di stasiun mitra Radio Bharata FM adalah Erik Alamsyah dan didampingi oleh Bapak Karim Beso dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kota Makasar.
Sebelumnya pada tahun 1983 telah ada desertasi yang dibuat oleh bapak Profesor Fachruddin Ambuendre di Universitas Indonesia. Namun saat itu belum pernah ada yang diterbitkan dalam bentuk tulisan ilmiah dengan terjemahan bahasa Bugis.
Penelitian Sirtjo Koolhof
"Saat itu saya masih mahasiswa di jurusan Sastra Indonesia di Unviersitas Leiden, saya sangat tertarik dengan budaya dan bahasa Sulawesi terutama sastra Bugis .Dan dalam sastra Bugis ini , La Galigo yang paling yang dan karena pada waktu itu belum ada satu episode yang diterbitkan dan terjemahan dalam bahasa Bugis."
Penelitian skripsinya dilakukan di sebuah daerah di desa Sidrap-Amparita yang hanya berpenduduk 10.000 jiwa orang. Selama 3 bulan lamanya, Sirtjo Koolhof melakukan penelitian dengan menanyakan langsung kepada masyarakat setempat dan menyaksikan kehidupan sehari-hari mereka seperti upacara kelahiran bayi, upacara pernikahan, dan lain sebagainya. Dalam upacara-upacara tersebut terdapat unsur cerita La Galigo. Misalnya "Di daerah Sidrap masih ada masyarakat setempat yang masih memilki naskah La Galigo namun sudah tidak ada orang lagi yang bisa membacanya" tegas Sirtjo.
Dikarenakan situasi iklim di Indonesia yang lembab dan panas belum lagi ancaman rayap, maka sulit sekali menemukan sebuah naskah asli yang berumur lebih dari satu abad. Menurutnya kebanyakan naskah kebudayaan yang ada di Indonesia merupakan naskah salinan. Sirtjo selalu membuat salinan dari setiap naskah yang ia dapatkan.
Dengan bantuan seorang pakar Bugis Bapak Muhammad Salim, Sirtjo Koolhof mendapatkan pementasan tradisi Makduta sebagai salah satu bahan yang digunakan dalam penulisan skripsinya. Pentas Makduta ini menceritakan tentang Sawerigading yang melamar We Cudai. Sawerigading merupakan simbol laki-laki Bugis yang cakap, baik dan patuh kepada keluarganya. Sawerigading semula jatuh cinta pada We Tenriyabeng yang sebenarnya adalah saudara kembarnya. Mereka tidak saling mengenal, karena mereka dipisahkan sejak dilahirkan. Namun setelah mengetahui bahwa We Tenriyabeng merupakan saudara kandungnya sendiri, mereka tidak bisa menikah. Akhirnya Sawerigading meninggalkan Luwuk. Dalam perjalanan ke Cina, di Wajo ia bertemu We Cudai seorang wanita yang mirip sekali dengan We Tenriyabeng. Mereka menikah dan lahirlah La Galigo. Pementasan Makduta berlangsung kurang lebih 10 - 15 menit.
Selain penelitian lapangan, Sirtjo Koolhof juga banyak mendapatkan informasi dari salinan naskah-naskah La Galigo di perpustakaan Leiden, kota dengan Universitas paling tua di Belanda. Perpusatakaan ini bisa diakses oleh semua orang. Sehingga sangat mudah untuk mendapatkan segala informasi yang dibutuhkan. Naskah lain juga terdapat di Jakarta yakni di perpusatakaan Nasional dan juga di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan di Gedung Mulo yang memilki 15 buah naskah Bugis.
Pementasan I La Galigo di Eropa
Tahun 2004 telah digelar I La Galigo di beberapa negara Eropa seperti di Belanda, Perancis dan Amerika. Pementasan tersebut diterima dan dihargai sangat positif oleh berbagai kalangan masyarakat. Koran The New York Times yang biasanya sangat kritis memberikan komentar yang optimis. Pementasan I La Galigo dibawah bimbingan Robert Wilson seorang seniman teater dari Amerika Serikat. Cerita pementasan I La Galigo ini merupakan percampuran dari berbagai kebudayaan dengan tetap menggunakan ciri kebudayaan Makasar yang melahirkan budaya dunia secara menyeluruh. Yang menarik adalah bahwa pertunjukan ini ditujukan kepada seluruh golongan masyarakat dan tidak didasarkan pada satu budaya daerah tertentu saja.
Ditulis dan disunting dari berbagai sumber oleh : Parman Pasanje
Salatiga (Sementara diguyur hujan) 17 November 2010. 6:17 PM
Sumber :
[1] Wikipedia Bahasa Indonesia
[2] http://majalah.tempointeraktif.com
[3] http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/pakar-kebudayaan-bugis-la-galigo
[4] http://bolehtau.wordpress.com/2008/03/25/la-galigo-bukan-epos-biasa/#comment-545
[5] http://kitabaca.com/2010/06/carilah-la-galigo-hingga-ke-leiden/
[6] http://lontarakarebosi.blogspot.com/
Ditulis dan disunting dari berbagai sumber oleh : Parman Pasanje
Salatiga (Sementara diguyur hujan) 17 November 2010. 6:17 PM
Sumber :
[1] Wikipedia Bahasa Indonesia
[2] http://majalah.tempointeraktif.com
[3] http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/pakar-kebudayaan-bugis-la-galigo
[4] http://bolehtau.wordpress.com/2008/03/25/la-galigo-bukan-epos-biasa/#comment-545
[5] http://kitabaca.com/2010/06/carilah-la-galigo-hingga-ke-leiden/
[6] http://lontarakarebosi.blogspot.com/
Comments
Post a Comment