Skip to main content

Pentas Seni dan Budaya Indonesia di UKSW


Senin 17 Mei 2011, acara Pentas Seni Budaya Indonesia (PSBI) dibuka di Balairung Utama (BU) UKSW. PSBI akan berlangsung pada tanggal 16-19 Mei 2011 dan diikuti oleh 19 etnis se-Indonesia yang ada di UKSW.  UKSW memang sangat identik dengan keberagaman latar belakang budaya mahasiswanya, tersebar dari Sabang hingga Merauke.

Setiap tahun acara serupa dilaksanakan di UKSW yang diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa Universitas (SMU) sebagai lembaga eksekutif mahasiswa. Di acara ini mahasiswa UKSW berkesempatan untuk menunjukkan karakteristik etnisnya seperti makanan khas, pakaian daerah, ornament/atribut, tarian, lagu daerah hingga miniature rumah adat.

Lompat batu Nias
Sesaat setelah acara dibuka, pertunjukan pertama dari etnis Nias dengan tarian dan lompat batunya. semua penari adalah laki-laki. Tariannya seperti tari perang, para penari membawa parang yang panjang, tombak dan perisai. Salah satu dari penari mengambil peran seperi komando pasukan yang memberi semangat dan aba-aba kepada pasukannya. Mereka menari di sekitaran 'batu'. Setelah penari mengambil tempat dan memberi kode kepada para pelompat, saatnya bagi pelompat untuk menunjukkan keahliannya. Lompatan pertama, kedua, ketiga dan keempat ditupertontonkan. Saya tidak melihat seluruh lompatan, hanya melihat jelas pada lompatan kedua dan ketiga. Semua lompatan sukses melewati ‘batu’ setinggi 1.8 Meter, hanya lompatan kedua yang nyaris tersangkut di puncak ‘batu’. ‘Batu’ yang dilompati bukan tumpukan batu sesungguhnya seperti terlihat pada tayangan-tayangan TV, tapi replika yang sengaja dibuat oleh mahasiswa etnis Nias. Tingginya sendiri lebih tinggi dari tinggi badan saya. Lompat batu Nias ini adalah kali pertama saya saksikan secara langsung. Selama saya belajar di UKSW baru pada tahun ini lompat batu Nias ditampilkan.
Batu loncatan. Coutesy of Rolland
Loncat. Courtesy of Rolland
Penari Nias. Courtesy of Rolland
Lompat lagi. Coutesy of Rolland
Lagi-lagi lompat. Courtesy of Rolland
Lompatan cantik. Courtesy of Fendy Kurniawan

Pawai
Pawai budaya dilangsungkan setelah atraksi lompat batu Nias dengan rute mulai dari kampus UKSW - Jalan Diponegoro - Bundaran Kaloka - Jalan Jend. Sudirman – Jalan Letjend. Sukowati – Lapangan Pancasila. Di acara pawai budaya semua etnis mengambil kesempatan. Saya sendiri bergabung dengan teman-teman Toraja. Kami di urutan kedua terakhir dari rombongan pawai. Etnis Bali mengambil posisi pada urutan terakhir.
Etnis Batak Simalungun. Coutesy of Rolland
Etnis Jawa. Coutesy of Rolland
Etnis Dayak. Coutesy of Rolland
Penari dari etnis Ambon Maluku. Courtesy of Rolland.
Etnis Papua. Courtesy of Rolland.
Model dari etnis Toraja. Courtesy of Rolland. 
Rombongan dari etnis Bali. Courtesy of Rolland
Etnis Lampung. Courtesy of Rolland

Dalam pawai budaya ini, semua etnis menyertakan model dalam rombongan masing-masing dengan berpakaian khas daerah. Ada juga yang menyertakan kelompok tari seperti dari etnis Sumba, Papua, Poso, Ambon dan Dayak/Landak. Kami sendiri dari etnis Toraja menampilkan aksi menggotong lettoan yang sudah dirangkai teman-teman sebelumnya. Lettoan adalah salah satu atribut yang digunakan masyarakat Toraja dalam upacara Rambu Solo’ (duka cita), digunakan sebagai tempat untuk mengemayamkan jenazah yang sedang diupacarakan atau akan dikuburkan. Saya sendiri tidak menggotong lettoan sepanjang perjalanan karena kondisi fisik saya masih belum pulih setelah sakit dua hari lalu. Sesekali saya membawa umbul-umbul Toraja.
Saya ikut angkut umbul-umbul dari etnis Toraja, ganteng kan??? hahaha. Courtesy of Rolland
Etnis Toraja menggotong lettoan. Courtesy of Antony Tumimomor

Di belakang rombongan kami ada teman-teman dari etnis Bali yang menggotong ogoh-ogoh. Sayangnya, ogoh-ogoh dari etnis Bali ini patah duluan sebelum berangkat dari depan BU.

Perhatian masyarakat Kota Salatiga pada pawai budaya ini cukup tinggi. Kumpulan masyarakat terlihat pada sisi kanan dan kiri sepanjang jalan raya yang kami lalui. Semua kalangan masyarakat turut menonton, mulai dari anak kecil hingga orang dewasa.

Namun satu hal yang sangat disayangkan dalam acara PSBI. Pada saat kami melewati jalan Letjend. Sukowati, masyarakat yang menonton di sisi jalan terlihat kurang senang. Saya sempat mendengarkan keluhan salah seorang bapak yang mengeluhkan banyaknya sampah di badan jalan dari bekas minuman para mahasiswa yang andil dalam PSBI. Di sini terlihat bahwa kesadaran kebersihan lingkungan dari mahasiswa belum terlihat pada tindakan aksi di lapangan, dari hal-hal kecil saja seperti pada acara PSBI ini.
Penampakan di Lapangan Pancasila setelah pawai.. hehhe.. Coutesy of Rolland

Menggaungkan Semangat Pluralisme
Pentas budaya yang diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa Universitas UKSW ini dimaksudkan sebagai wahana bagi mahasiswa UKSW untuk melestarikan dan meningkatkan kepedulian terhadap nilai-nilai budaya yang luhur sebagai asset dalam membangun wawasan kebangsaan. Kita tahu bahwa bangsa Indonesia menyimpan keberagaman budaya yang sangat tinggi. Sangat plural. Semangat yang ingin diangkat adalah semangat penghargaan pada perbedaan terkhusus mengenai perbedaan latar belakang budaya. Semangat pluralisme itulah yang akan terus merekatkan sendi-sendi perbedaan dalam kehidupan bermasyarakat. 

Comments

  1. sungguh sangat luar biasa UKSW dan budaya kita.. baru kali ini PSBI ditampilkan dengan sangat spektakuler... sangat disayangkan melewati moment yang luar biasa itu...
    tidak menyesal pernah menginjak ilmu disana...

    ReplyDelete
  2. makasih dah berkunjung Nat..

    Yah, ada warna baru untuk PSBI tahun ini hehhe..

    salam dari Salatiga,

    ReplyDelete
  3. Kak Parman... Nice note hehe...... tapi cuma mau klarifikasi.... pada paragraf awal, yang tentang lompat batu nias itu digunakan kalimat, "Pelompat pertama, kedua, ketiga dan keempat mempertunjukkan aksinya" nah pelompatnya kemaren kan cuma 1 orang, hanya saja dia melompat 4 kali... nah. bukankah lebih pas saat kalimat,"Semua pelompat sukses melompati ‘batu’ setinggi 1.8 Meter, hanya pelompat kedua yang nyaris tersangkut di puncak ‘batu", kata pelompat disitu dapat memakai kata lompatan saja mengingat pelompatnya cuma satu hehehe....

    ReplyDelete
  4. Oke Fitri... thanks buat koreksinya..
    postingannya sudah saya perbaiki,

    saya ternyata keliru,, kerena menonton dari jauh, jadi tidak detil pelompatnya...

    btw, makasih sudah kunjungi blog ini..
    GBU

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ma' tutu nene'

Budaya orang Indonesia menekankan kepada setiap generasi agar mengetahui garis keturunannya hingga beberapa generasi ke belakang. Orang-orang tua akan menurunkan silsilah keluarga itu kepada anak-anaknya secara lisan. Inilah yang menjadi salah satu faktor yang membuat kekeluargaan masyarakat Indonesia sangat erat, dan menjadi ciri tersendiri dalam tatanan masyarakat global.  Warisan budaya lokal kita sebagai masyarakat Indonesia sangatlah kaya. Ditambah dengan kearifan lokal yang terbentuk dalam pergaulan masyarakat sehari-hari semakin membuat kita bangga sebagai masyarakat Indonesia.  Tantangan bagi generasi muda untuk menjaga nilai-nilai luhur yang telah ditanamkan oleh para pendahulu. Warisan budaya menjadi hal esensial untuk tetap kita jaga. Siapapun kita, baik birokrat ataupun sebagai penghulu adat.  Saya sendiri yang tumbuh dan berkembang dalam budaya Toraja sangat ditekankan untuk mengerti akan nilai-nilai budaya Toraja. Itu bukan menjadi pelajaran formal di sekolah tetapi se

Bangunan makam yang unik dari masyarakat Toraja

Halo semuanya, ini adalah tulisan ketiga yang saya kelompokkan ke dalam tulisan tentang budaya lokal, terkhusus mengenai masyarakat Toraja yang tinggal di wilayah Sulawesi Selatan. Kali ini saya akan menulis kebiasaan masayarakat Toraja yang membangun makam bagi keluarga. Ini mungkin janggal kedengaran bagi sahabat blogger bahwa sebagian kecil/besar masyarakat Toraja membangun makan keluarga. Makam seperti ini secara umum di kenal dalam kalangan masayarakat Toraja dengan sebutan  ' patane ' atau ' patani '. Bangunan ' patane ' banyak variasinya, tapi secara umum desain dindingnya berupa bujursangkar atau persegi panjang. Bagian yang banyak divariasi adalah bagian atap. Salah satu 'patane' di daerah Kec. Bastem, Kabupaten Luwu. Courtesy of Joel Pasande 'patane' di daerah gunung Singki', Toraja Utara. Courtesy of Aswan Pasande. 'patane' di daerah gunung Singki', Toraja Utara. Courtesy of Aswan Pasande. 

Menyusuri jalan Trans Sulawesi dari Poso ke Palu

Perjalanan darat yang cukup lama saya lalui selama ini di pulau Sulawesi adalah jalur Makassar – Palopo atau sebaliknya yang menghabiskan waktu lebih dari 8 jam perjalanan. Waktu tersebut bisa menjadi sangat lama, atau bisa menjadi menyenangkan dengan sambil menikmati pemandangan selama perjalanan, tergantung bagaimana menikmati perjalanan tersebut.   Tanggal 26 Maret 2018 lalu saya berkesempatan menyusuri jalur darat yakni jalan Trans Sulawesi dari Kabupaten Poso ke Kota Palu. Kebetulan juga saya ada perjalanan dinas bersama beberapa rekan, dan atasan kami mengajak untuk melewati jalur darat. Saya menganggap jalur darat Poso-Palu ini cukup ringan, karena saya sejak kecil sudah terbiasa dengan jalur darat yang menantang, entah itu dari Palopo ke kampung saya, atau dari Palopo ke Toraja. Dalam benak saya, pengalaman jalur darat saya sudah banyak. Namun, dari informasi teman-teman di Poso jalur Trans Sulawesi dari Poso ke Palu rawan longsor, dan sering buka-tutup jalur. Pada saat Op