Skip to main content

Bastem dalam kubangan keterpencilan: Akankah terus berlanjut?

Bastem atau Basse Sangtempe’ merupakan daerah yang terletak jauh di dataran tinggi, tepatnya terletak di sebelah timur gunung Latimojong, Kabupaten Luwu, provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kondisi geografis daerah Bastem dipenuhi jejeran pegunungan, hutan dan sawah. Udara sejuk pegunungan akan selalu menjadi suguhan alam di daerah tersebut.

Bastem menjadi salah satu kecamatan dalam lingkup Kabupaten Luwu. Jika berbicara mengenai Bastem, imaji tak akan lari dari seputaran ekstrimnya medan perjalanan dan kondisi jalanan bekelok serta dibayangi lumpur. Mengingat Bastem pasti akan mengingat gunung dan lembah.

Masyarakat Bastem didominasi oleh keturunan suku Toraja. Salah satu kekaguman saya akan masyarakat Bastem adalah semangat hidup yang selalu berkobar. Sebelum diakses kendaraan bermotor, untuk urusan transportasi, masyarakat berjalan kaki atau berkuda. Melaui gunung dan lembah, masuk dan keluar hutan. Mereka datang membeli garam atau ikan di daerah Palopo atau sekedar membarter hasil bumi, semua itu mereka lakukan dengan berjalan kaki ataupun berkuda dari dan ke Bastem. Kisah-kisah tersebut masih dapat kita dengarkan dari kakek atau nenek kita yang masih dikaruniai hidup hingga saat ini. Demikianlah perjuangan hidup, pantang menyerah dalam menjalani kehidupan dan tetap berdampingan dengan alam yang telah memberikan sumber penghidupan. Pergaulan sosial diwarnai dengan semangat sisipa’ (baca: saling menghormati) dan massipa’ melo (baca: bijak dan arif). Demikianlah nilai-nilai luhur yang telah digariskan oleh para pendahulu Bastem. Kita semua sebagai generasi penerus patut belajar dari nilai-nilai luhur tersebut.

Bastem masa kini
Jalan Bastem - Sumber : Facebook teman
Lalu bagaimana kondisi Bastem sekarang?. Jawabannya tergantung dari sudut pandang mana kita menganalisa. Jika kita menganalisa dari sudut pandang sosial ekonomi, maka daat dicapai suatu hipotesa bahwa kondisi sosial ekonomi masyarakat Bastem setidaknya lebih baik dari sebelumnya. Bukan tak ada indikator untuk mengusung hipotesa ini; seperti kita lihat bahwa masyarakat Bastem sudah melek aksara, melek informasi dan perekonomian masyarakat telah ditopang oleh jalur transportasi kendaraan bermotor. Bahwa taraf sosial ekonomi masyarakat Bastem sudah lebih baik dari sebelumnya, hal itu memang sudah sepatutnya dicapai dalam konteks pembangunan nasional. Bangsa kita sudah merdeka lebih dari 60 tahun, rentang perjalanan waktu yang cukup lama untuk melaksanakan pembangunan di semua lini. Tak terkecuali pembangunan Bastem secara menyeluruh (bukan hanya di bidang sosial ekonomi tapi di bidang kesehatan, pendidikan, gender hingga politik). Jika kita mengamati secara objektif terkait dengan perkembangan masyarakat Bastem maka akan nampak bahwa laju perkembangan/pembangunan masyarakat bastem masih jauh dari harapan. Di satu sisi kita bisa berbangga dengan kondisi melek aksara atau melek informasi tapi di sisi lain kita melihat bahwa hal itu belum sebanding jika dikontekskan dalam masyarakat moderen. Masyarakat modern bukan berarti segala pola aktifitas didukung oleh perangkat teknologi canggih namun masyarakat yang maju dalam hal pendidikan, dalam hal ekonomi, dalam hal budaya dan masih banyak bidang lainnya, sehingga mampu menanggapi suatu fenomena secara kritis dan analitis dari berbagai sudut pandang.


Mungkin pendekatan kondisi kekinian Bastem seperti diutarakan di atas masih abstrak. Saya akan mencoba menggambarkannya secara eksplisit. Saya sendiri (Parman Pasanje) sebagai penulis catatan ini lahir pada tahun 80an mendekati 90an. Saya lahir, tumbuh dan berkembang di Bastem hingga meninggalkan Bastem pada tahun 2000an. Selama kurang lebih 10 tahun saya menjadi observer amatiran tentang Bastem. Pada periode tersebut, jalan raya telah dibangun hingga perintisan jalan-jalan baru melintasi lorong-lorong desa. Beberapa kali (seingat saya lebih dari sekali) dilakukan perbaikan jalan raya Palopo-Bastem dengan alat-alat berat. Tak lama kemudian dibangun instalasi PLTD yang berbasis di Desa Pantilang yang menyalurkan listrik di sepanjang daerah Urraso, Pantilang dan Maindo. Kemudian menyusul proyek pipanisasi di beberapa desa untuk menyuplai air minum bagi warga desa. Tak lupa dibangun rumah sakit (di Desa Pantilang) dan juga beberapa puskesmas. Untuk bidang pendidikan, ada program gizi tambahan (untuk siswa SD), bantuan buku-buku bacaan (SD), bantuan beasiswa tidak mampu dari pemerintah (SMP), perbaikan dan penambahan infrastruktur sekolah serta penambahan tunjangan bagi tenaga pengajar untuk daerah pedalaman. Sejauh itu yang menjadi hasil amatan saya secara eksplisit.

Pada prinsipnya, pembangunan Bastem telah diakomodasi dengan baik oleh pemerintah. Namun, satu hal yang menimbulkan tanda tanya bahwa apakah program-program pembangunan tersebut sudah proporsional jika dikaitkan dengan aspek tanggung jawab masarakat sebagai warga negara dalam membayar pajak dan aspek kebutuhan masyarakat itu sendiri?. Perlu tinjauan kritis untuk menjawab pertanyaan ini. Sekedar mencoba menemukan jawaban, masyarakat bastem tergolong masyarakat yang taat hukum (hukum positif). Kewajiban membayar pajak selalu ditunaikan. Sehingga dari aspek kewajiban sebagai warga negara telah dilakukan dengan baik. Bagaimana dengan aspek kebutuhan masyarakat?. Untuk program pembangunan seperti disebutkan di atas, masih dibawah parameter ‘cukup’. Petani sebagai mata pencaharian pokok masyarakat bastem sepertinya luput dari perhatian pemerintah. Para petani dalam bercocok tanam tidak jarang dipengaruhi tren pasar. Harga pinang melejit, maka ramai-ramai menanam pinang; harga vanili melejit, maka ramai-ramai menanam vanili; harga nilam melejit maka ramai-ramai menaman nilam dan seterusnya. Kakao yang juga banyak ditanam masyarakat terkadang menjadi sasaran penyakit kanker buah. Serangan ulat yang sangat merusak tanaman padi, hingga masih banyak masalah pertanian yang belum dapat diatasi oleh para petani. Itu baru menyoal pertanian, belum menyinggung masalah rendahnya taraf pendidikan, kurangnya tenaga kesehatan, buruknya pelayanan publik hingga minimnya pemahaman politik. Dengan demikian, dari aspek kebutuhan masyarakat Bastem, masih banyak hal yang belum disentuh. Konteks proporsional pembangunan tersebut kini semakin menjadi tanda tanya besar. Jika mengingat kue pembangunan, maka yang didapatkan daerah Bastem tinggal sisa-sisa kue. Bukan menjadi kelompok utama yang mengkonsusi kue tersebut.

Urat nadi masyarakat Bastem
Tidak dipungkiri lagi bahwa salah satu urat nadi masyarakat Bastem adalah jalur transportasi. Lancarnya arus transportasi akan turut mendobrak bidang lainnya. Bidang yang paling berdampak adalah perekonomian lokal. Masyarakat umum dapat menjual hasil bumi dalam jumlah banyak dan beragam sehingga dapat menaikkan daya beli. Naiknya daya beli akan turut menggairahkan bidang pendidikan dan kesehatan masyarakat. Dan seterusnya.

Jalan raya poros Palopo-Bastem hingga saat ini masih sangat memprihatinkan. Rusak. Jangan jauh-jauh membayangkan jalan beraspal, kondisi jalan keras masih jarang terlihat sepanjang jalur. Kubangan lumpur justru menjadi pelengkap jalur Palopo-Bastem sehingga terus menjadi momok bagi pengguna jalan. Padahal itu adalah jalur utama yang menghubungkan masyarakat Bastem dengan masyarakat dari kabupaten lain.

Jalan Bastem. Sumber: Grup Facebook "Community Bastem"
Jika pemerintah (dan masyarakat) serius melancarkan proses pembangunan daerah Bastem, maka hal utama yang harus dibenahi adalah jalur transportasi. Sewaktu saya masih di Bastem, beberapa kali dilakukan perbaikan jalanan. Tetapi sayangnya, jalanan yang kerap dilakukan perbaikan tersebut rusak kembali saat musim hujan. Proyek tersebut terkesan memboroskan aggaran karena pengerjaan jalan yang dilakukan nyaris tidak ada hasil signifikan. Jikalau angaran untuk proyek perbaikan jalan disatukan dalam satu proyek sekaligus (fondasi parit, pembangunan terasering untuk daerah rawan longsor, gorong-gorong beton, pengerasan badan jalan dll), maka hasilnya pasti akan kelihatan dan dapat dinikmati masyarakat. Ini menjadi masukan untuk rencana ke depan. Bukan tidak mungkin Bastem dilalui jalan beraspal, tergantung pada keseriusan Pemerintah Daerah mengusahakannya. Saat ini, poros Bua-Bastem-Torut sementara dibangun dan kabar baiknya bagi masyarakat Bua, Bastem dan Torut bahwa poros tersebut berstatus sebagai jalan negara. Hal itu membawa angin segar untuk masyarakat Bastem dimana mobilisasinya dapat beralih pada jalur jalan negara tersebut. Yang menjadi catatan penting pada diskusi ini adalah pembenahan jalur transportasi yang menghubungkan masyarakat Bastem dengan masyarakat daerah lain harus menjadai prioritas dalam kerangka menggalakkan pembangunan Bastem.

Pembangunan menyeluruh dan peran stakeholder
Masyarakat Bastem secara menyeluruh dipastikan mendambakan pembangunan: pembangunan tondok (kampung). Pembangunan tondok tidaklah cukup jika hanya diwujudnyatakan dengan kehadiran infrastrusktur fisik. Memang tak dapat dipungkiri bahwa pembangunan infrastruktur merupakan titik tolak proses pembangunan, namun pemberdayaan masyarakat juga perlu diperhatikan. Tentu kita tidak berharap daerah kita telah dibangun dari segi fisik tapi nilai-nilai sosial yang berkembang dalam masyarakat turut bergeser, entah digeser oleh gaya hedonis atau egoisme masyarakat tapi kita berharap disamping dilakukan pembangunan fisik juga nilai-nilai kemasyarkatan turut dilestarikan.

Menurut saya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kerangka memajukan Bastem:
Pertama, adalah segi kesadaran kolektif masyarakat Bastem. Paradigma masyarakat di bidang pendidikan dalam hal ini pendidikan formal. Perlu ditanamkan sejak dini bahwa aspek pendidikan formal merupakan hal yang esensial untuk putra putri Bastem. Hal ini sambil melihat Bastem di masa akan datang, siapa yang akan mengisi pembangunan bastem jika bukan putra putri Bastem itu sendiri.

Tingkat pendidikan masyarakat Bastem boleh dibilang masih rendah. Bahkan tak jarang yang putus sekolah di tingkatan Sekolah Dasar. Hal itu yang sangat disayangkan. Jika biaya pendidikan di SMA/SMK dirasa mahal oleh masyarakat, maka disitulah peranan Pemerintah Daerah untuk membukakan pintu. Pemerintah Daerah dapat menggalakkan program pemberian beasiswa bahkan hingga pendidikan tinggi/vokasi.

Kedua, pembangunan infrastruktur. Ini yang sangat penting, sekali lagi saya tekankan bahwa infrastruktur jalan raya adalah yang utama. Infrastruktur pendukung yang lain dan tak kalah penting adalah sekolah dan rumah sakit/posyandu.

Ketiga, perbaikan pelayanan publik. Aspek pelayanan publik banyak dipengaruhi oleh keseriusan Kepala Desa melaksanakan fungsinya. Seberapa serius Kepala Desa mengakomodir pelayanan KTP, KK atau Akta Kelahiran serta menjalankan program-program pedesaan. Ini menjadi catatan kepada elit-elit lokal yang dipercaya masyakat untuk memimpin. Masih terkait dengan pelayanan publik, di Bastem juga masih minim tenaga kesehatan. Jika perlu ada satu atau dua dokter tetap yang ditugaskan di Rumah Sakit Bastem (Pantilang), juga tak lupa penambahan tenaga-tenaga bidan.

Keempat, pemberdayaan masyarakat. Aspek terakhir ini yang tak kalah pentingnya. Pemberdayaan masyarakat cakupannya cukup luas. Mengingat masyarakat Bastem banyak yang bertani maka perlu peningkatan keterampilan bagi mereka. Kenapa tidak misalnya Dinas Pertanian Kabupaten Luwu menempatkan tenaga bantu/fasilitator untuk mendampingi para petani di Bastem. Para petani dapat membentuk kelompok-kelompok tani agar mudah dilayani oleh fasilitator dari Dinas Pertanian sehingga bukan lagi melakukan pendampingan individual tetapi menggerakkan kelompok.
Masih berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat. Dalam rangka menunjang pembangunan, maka sangat diharapkan partisipasi aktif dari masyarakat. Dalam hal ini akan diwujudkan pembangunan partisipatif dan akuntabel. Masyarakat yang cerdas akan jeli dan kritis melakuakan pengawasan publik kepada pemerintahnya. Tidak takut mengkritik pemerintah jika mengabaikan tanggung jawabnya atau lalai dalam menunaikan tugas pemerintahan.
Jika pembangunan Bastem hanya dibebankan kepada Pemerintah Daerah, pasti akan timpang karena daya Pemerintah Daerah juga terbatas. Di sinilah letak peranan para stakeholder Bastem. Siapakah mereka dan bagaimana bentuk peranan yang dapat dimainkan?.
Pihak Pemerintah. Mulai dari Kepala Desa hingga Bupati. Tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam hal ini sudah sangat jelas. Tinggal bagaimana menjalankan komitmen dalam memperhatikan Bastem.
Masyarakat. Dalam menggalakkan proses pembangunan maka masyarakat perlu secara kritis mengawalnya. Masyarakt Bastem perlu secara proaktif menyampaikan aspirasi kepada wakilnya yang duduk di dewan perwakilan atau bertemu langsung dengan pemerintah. Ini yang masih kurang terlihat di Bastem sehingga tidak mengherankan jika Bastem hanya mendapat sisa-sisa kue pembangunan. Masyarakat Bastem yang menetap di luar Bastem rata-rata memiliki kerukunan. Di Palopo, Makassar hingga di Jakarta. Basis-basis kerukunan masyarakat Bastem ini dapat menjadi kekuatan politik untuk memperjuangkan pembangunan Bastem kepada Pemerintah Daerah.
Mahasiswa Bastem. Mereka adalah kaum terdidik. Peranan mahasiswa dapat diwujudkan dengan melakukan pendampingan kepada masyarakat Bastem. Melakukan advokasi. Menjembatani masyarakat dengan pemerintah atau dapat menjadi motor dalam hal sounding kepada pemerintah. Secara konkret dapat diwujudnyatakan dengan kegiatan bakti sosial.
Jika semua pihak telah melakukan perannya masing-masing maka ke depan akan semakin menumbuhkan harapan untuk kemajuan Bastem. Bastem tidak lagi menjadi daerah tertinggal tetapi menjadi daerah yang maju dalam segala hal. Dalam hal geografis, boleh saja dikatakan daerah terpencil, tetapi dalam hal masyarakat secara luas bukan lagi masyarakat terpencil/terbelakang tetapi menjadi masyarakat yang cerdas dan modern. Ewako Bastem.


***
Epilog
Penulis (Parman Pasanje) adalah salah satu putra Bastem yang lahir, tumbuh hingga beranjak remaja di Bastem. Problematika yang diutarakan pada tulisan ini merupakan hasil pengamatan secara pribadi. Tidak ada maksud untuk menyorot pihak siapa yang kurang memberi perhatian kepada daerah Bastem hingga menjadi terus terbelakang, namun merupakn kesadaran kritis dari penulis sendiri melihat keterbelakangan kampung halamannya. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi siapapapun yang membacanya. 

Comments

  1. halo mas...
    saya nuzuli, dari teknik UGM
    kami dari mapala teknik, berencana untuk mengadakan kegiatan sosial masyarakat di desa pantilang
    kalo bisa saya ingin tau kontak mas-nya agar bisa tau informasi lebihnya
    terimakasih sebelumnya....

    ReplyDelete
  2. halo Nuzuli

    Kabar yang sangat bagus jika mas Nuzuli dan teman2 UGM akan mengadakan kegiatan sosial di sana. semoga dapat terlaksana dengan baik.

    saya sekarang ada di Salatiga mas, kuliah di UKSW,, tahun ini sudah lulus. Jika ingin tukar info silahkan kirim ke email saya di : ammanmalapu@gmail.com . alamat email itu juga sekaligus alamat email facebook saya. nanti melalui email atau message facebook saya berikan kontak saya sedetail mungkin.

    salam,

    ReplyDelete
  3. salam kenal mas tora bastem.
    maaf mau tanya.... kami dari jawa dan saya punya adik yang di terima di BPS LUWU dan lingkup kerjanya di kecmatan bastem. kalau saya membaca artikel mas tora koq mengerikan ya.... dan saya menjadi kuatir dengan keadaan adik saya. mohon saran dan informasinya agar sekiranya saudara kami mudah dalam melaksanakan tugas... terima kasih sebelumnya.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ma' tutu nene'

Budaya orang Indonesia menekankan kepada setiap generasi agar mengetahui garis keturunannya hingga beberapa generasi ke belakang. Orang-orang tua akan menurunkan silsilah keluarga itu kepada anak-anaknya secara lisan. Inilah yang menjadi salah satu faktor yang membuat kekeluargaan masyarakat Indonesia sangat erat, dan menjadi ciri tersendiri dalam tatanan masyarakat global.  Warisan budaya lokal kita sebagai masyarakat Indonesia sangatlah kaya. Ditambah dengan kearifan lokal yang terbentuk dalam pergaulan masyarakat sehari-hari semakin membuat kita bangga sebagai masyarakat Indonesia.  Tantangan bagi generasi muda untuk menjaga nilai-nilai luhur yang telah ditanamkan oleh para pendahulu. Warisan budaya menjadi hal esensial untuk tetap kita jaga. Siapapun kita, baik birokrat ataupun sebagai penghulu adat.  Saya sendiri yang tumbuh dan berkembang dalam budaya Toraja sangat ditekankan untuk mengerti akan nilai-nilai budaya Toraja. Itu bukan menjadi pelajaran formal di sekolah tetapi se

Bangunan makam yang unik dari masyarakat Toraja

Halo semuanya, ini adalah tulisan ketiga yang saya kelompokkan ke dalam tulisan tentang budaya lokal, terkhusus mengenai masyarakat Toraja yang tinggal di wilayah Sulawesi Selatan. Kali ini saya akan menulis kebiasaan masayarakat Toraja yang membangun makam bagi keluarga. Ini mungkin janggal kedengaran bagi sahabat blogger bahwa sebagian kecil/besar masyarakat Toraja membangun makan keluarga. Makam seperti ini secara umum di kenal dalam kalangan masayarakat Toraja dengan sebutan  ' patane ' atau ' patani '. Bangunan ' patane ' banyak variasinya, tapi secara umum desain dindingnya berupa bujursangkar atau persegi panjang. Bagian yang banyak divariasi adalah bagian atap. Salah satu 'patane' di daerah Kec. Bastem, Kabupaten Luwu. Courtesy of Joel Pasande 'patane' di daerah gunung Singki', Toraja Utara. Courtesy of Aswan Pasande. 'patane' di daerah gunung Singki', Toraja Utara. Courtesy of Aswan Pasande. 

Oleh-oleh Cerita Liburan dari Salatiga

Halo semuanya,,,, Bulan Desember ini pasti kalian pada menikmati liburan. Begitu pula denganku, semenjak tanggal 3 bulan ini, kegiatan perkuliahan reguler kampus kami mulai libur. Liburnya cukup lama, hingga sebulan lebih mengingat kami akan aktif berkuliah kembali tanggal 4 Januari 2011 untuk Semester Genap Tahun Ajaran 2010-2011. Ini adalah liburan terlama dalam satu tahun ajaran dan kebetulan bertepatan dengan nuansa Natal.  Di kampus saya (Universitas Kristen Satya Wacana) mayoritas mahasiswanya adalah pendatang dari hampir seluruh penjuru tanah air. Berada dalam linkungan UKSW sendiri serasa di TMII. Kelompok-kelompok mahasiswa sangat diwarnai dengan berbagai latar suku, bahasa, ras, bahasa bahkan agama. Secara tidak langsung kita sudah belajar toleransi kultural di lapangan. Sangat senang berkuliah di sini. Kini memasuki masa libur panjang. Keriuhan UKSW sedikit teredakan, di kampus yang ada hanya pepohonan hijau yang semakin rimbun, para petugas keamanan kampus yang masih ra