Skip to main content

Fuzzy


Ilustrasi/http://irmains.blogdetik.com/
Pagi buta, saat semua manusia masih menikmati ujung malam tepatnya saat waktu memasuki detik-detik pergantian dua wujud, memulai titik awal hari siang yang dijejali aktifitas. Hari ini hari Sabtu. Tak biasanya saya bangun secepat ini. Kalau akhir pekan, apalagi yang namanya hari Sabtu… saya kadang membiarkan diri saya menikmati satu monopoli dimensi. Frekuensi batin yang titik puncak parameternya menunjuk pada indikator malas. Label yang pada umumnya tidak disukai orang-orang bijak, tidak disukai orang-orang tua pada anaknya. Tapi saya menikmatinya, karena dia adalah bagian hidup juga. Rasanya tak mungkin seorang manusia waras tak pernah membiarkan diri dikuasai setan yang namanya malas. Orang bijak sekalipun, dan orang rajin sekalipun. Sama halnya saat sakit hati, benci, dendam dan semua yang berkonotasi negative menurut ukuran paradigma, menjejali jutuaan sel otak manusia, dia tidak akan pernah bisa menolaknya. Kosmos menyediakan ruang untuk dimensi negative dan positif, komposisi pada titik ekuilibriumlah yang membuatnya bernilai netral. Salah satu dimensi berkomposisi dominan dalam seluruh partikel manusia yang pada akhirnya tunduk pada otoritas dimensi itu. Malas, berarti saya membiarkan kau menang saat ini dalam diri saya. Memang ada waktunya untuk membiarkanmu datang dan menguasai isi kepala saya.

Terbangun pada jam seperti ini membuat saya harus mengikuti ritme alam. Alam mendikte manusia untuk segera bergegas dan mulai melanjutkan yang belum tuntas sejak kemarin-kemarin. ataupun memulai awal baru demi sebuah harapan. Apapunlah itu, konsmoslah yang mengakomodasinya. Mau tidak mau saya harus mengikuti ritmenya. Saya baru teringat, semenjak kemarin sore saya coba mengontak seorang tapi selalu gagal. Hingga tengah malam saya tak sempat menyampaikan sepatah kata pun sama dia. Mungkin pagi ini jaringan telekomunikasi mendukung, kebetulan batere HP saya sudah penuh dan semoga bisa melanjutkan yang selalu gagal sejak kemarin sore.

Dan ternyata iya. Lorong frekuensi udara mendukung untuk komunikasi pagi ini. Mungkin sejak tadi malam banyak distorsi sehingga mengacaukan hubungan frekuensi yang saya inginkan itu. Suara bersemangat menyambut panggilan saya. Seseorang yang masih sedarah dengan saya. Hari ini adalah hari keempat dia dirawat inap di RSUD. Saudara saya ini jadi korban seseorang yang ugal-ugalan bersepeda motor di jalan raya. Menabrak sepeda motor orang lain hingga jatuh terbanting, tapi malah ditinggal pergi melarikan diri. Sungguh perbuatan yang sangat tak bertanggung jawab. Rasanya saya ingin menghujam kepalan tinju ke hidung penabrak ini. Saudara sayalah yang jadi korban keugal-ugalannya dan setan ketakbertanggungjawabannya. 

Tak lama saya bertanya jawab sama adik saya, mama saya sekarang yang bersuara di ujung sana. Wanita yang saya panggil mama’ (panggilan orang Toraja-Luwu untuk ibu) itu berbicara dengan saya sekarang. Mungkin adik saya ini tau kalau saya sebenarnya ingin bicara panjang lebar sama mama’ saya. Maklum sejak kemarin sore saya tidak bisa menghubunginya. Saya sempat menyalahkan HP saya, mungkin kotak hitam sialan itu yang error sampai jadinya seperti kemarin. Beberapa kali saya banting ke kasur, untung saja belum sempat terlempar ke tembok dinding kamar saya. Padahal sudah beberapa kali saya amati dinding tembok depan tempat saya bersandar itu. Sepertinya jadi sasaran empuk untuk menerima hantaman benda hitam sialan tadi. Tapi untung saja akal sehat saya masih bekerja. Dalam teori komunikasi klasik atau apalah namanya itu, teori yang sangat sederhana hingga seorang tak sekolahpun paham bahwa dalam sebuah komunikasi pasti ada namanya distorsi yang terkadang menyebabkan pesan dari pengirim tidak sampai pada si penerima apalagi mengarapkan umpan balik. Di dalam konfigurasi udara, itu sangat mungkin terjadi. Saat kesibukan manusia mencapai klimaksnya, juga membutuhkan ruang bandwidth yang luas sehingga jadinya tak terbagi rata. Dan saya salah satu yang tak kebagian bandwidth

Pagi inilah baru saya kebagian jatah untuk masuk dalam sebuah frekuensi dan menyambungkannya dengan orang yang saya inginkan. Berarti bukan karena kebetulan saya bangun pagi buta hari ini. Akhrinya saya bisa bicara panjang lebar dengan seorang wanita tegar yang saya cintai, yang telah lebih dahulu memberikan cinta tak ternilai semenjak saya dilahirkan hingga tumbuh dewasa. Kasih agape. Banyak hal yang mangalir dari mulut saya dan mau tidak mau beliau harus dengarkan. Tak terasa waktu bergulir dan akhrinya saya bisa lega hari ini, sudah bicara panjang lebar dengan beliau. 

Tapi tunggu dulu….!, belum selesai juga, suara saya katanya rasanya beda ditelinga beliau. Hmmmmmmm…. Iya, memang sejang kemarin sore, suara saya agak beda. Tak seperti biasa.  Kalau membunyikan not-not dalam klat koor, saya sangat cocok pada barisan bas. Pertama kali saya sadari sejak kemarin sore, setelah saya terbangun dari posisi telungkup. Saya sengaja membiarkan diri pada posisi itu sambil membiarkan jiwa melayang pada satu seting tempat dalam sebuah novel. Saya bangun, menyatukan energy tubuh dan menemui teman saya yang datang menjemput. Memang ada konfirmasi sebelumnya kalau saya akan dijemput ke rumah Ting Tiong. Mungkin hanya orang Salatiga yang tau rumah itu. Nama yang sebenarnya adalah Tiong Ting, tapi saya lebih pas sebutnya Ting Tiong. sepertinya karena efek dialek dari bahasa ibu saya. Dalam konteks bahasa ibu saya, membran timpani telinga saya sangat dibiasakan dengan lafal gabungan konsonan /ng dan kombinasi vocal konsonan /o/ng dalam sebuah kata, biasanya di akhir-akhir penyebutan lafal itu muncul. Seperti kata-kata pantilang, lendong, pa’ piong, atau tedong. Makanya untuk nama Tiong Ting, saya sendiri lebih pas menyebutnya Ting Tiong

Saya pulang dahulu dari rumah itu karena setelah beberapa saat di sana, rasanya jiwa saya tidak di tempat itu lagi, tapi beralih kemana-mana. Ada teman yang pamit pulang, dan akhirnya saya juga ikut pamit. Pulang bersama seorang teman cewek, kebetulan motornya kosong (kosong untuk posisi belakang maksudnya), dan nebeng….  terus, jalan pulang. Belum langsung pulang indekost masing-masing, tapi saya masih sempatkan diri menemani dia makan malam, ternyata sampai jam segitu dia belum makan malam, harusnya sejak beberapa jam yang lalu. Setelah ngobrol, kemudian jalan, temanku ini sadar kalau suara saya ada yang beda. Dia menawari mengantar pulang, tapi saya bilang kalau saya tidak ada masalah. Semuanya baik-baik saja. Tidak sakit, dan semuanya terjamin pada kondisi ideal. Saya yakin, karena kesibukan sepanjang siang tadi (kemarin) yang membuat saya begitu, membuat kondisi tubuh  seperti kekurangan oksigen. Secara logika, memang haemoglobin telah banyak dipompa jantung ke seluruh bagian tubuh agar mampu membakar kalori untuk menjadikannya energy, sesuatu yang dibutuhkan tubuh dalam ukuran banyak ketika sedang banyak aktivitas. Sebagai solusi, paling tidak perlu minum banyak air putih atau tambahan vitamin C supaya tubuh tidak terlampau kelelahan. Atau solusi idealnya, mengurangi aktivitas dan istrahat. 

Makanya, saya belum pulang dulu…. ke warung makan, sekalian saya cari minuman hangat untuk sekedar menghangatkan tenggorokan. Sayangnya saya pilih kopi mix di warung itu, cairan coklat tua berkafein dan panas. Harusnya tidak pesan kopi tapi apapunlah selain kopi. Paling pas minuman jahe atau susu hangat. Tapi tak apalah, saya suka kopi dan saya sudah memesannya. Minum kopi sambil merasakan angin malam membuat jiwa saya sedikit terpusat, tidak lagi pergi entah kemana. Tapi habis minum kopi rasanya kepala mulai pusing dan goyang. “Sialan, ini gara-gara kopi”, pikirku. Tiga teman menyusul kami. Jadinya makan dan minum agak ramai disitu. 

Setelah itu, saya pulang, jadinya dibonceng sekarang sama teman cewek tadi yang saya bonceng dari Ting Tiong. Sampai ke kamar sendiri, belum langsung tidur tapi menyelesaikan baca novel yang sempat terinterupsi tadi sore. Hmmmm ceritanya enak, tak terasa halaman 248 sebagai halaman akhir sudah saya sikat. Ukuran sangat singkat bagi saya menghabiskan membaca sebuah buku, padahal buku itu (novel) baru saya beli tadi malam. Novel berjudul “Landorundun”. Cantik. Diisi dengan romansa cinta dalam kehidupan modern dan dikombinasi dengan legenda Toraja. Seorang alumnus FSM Kimia UKSW yang menulisnya.

Tadi pagi waktu saya bangun, ada buku lain yang berposisi sangat dekat dengan posisi badan saya. Buku saya beli awal Februari lalu, belum tuntas juga terbaca. Padahal saya tertarik pada isi buku itu. saya baca setelah “Landorundun”. Tapi akhirnya saya ketiduran. 

Setelah mengobrol lama sama mama’ tadi pagi, ada niat untuk melanjutkan baca buku yang tak tuntas-tutas baca itu. Tapi kupikir masih terlalu pagi. Mending cari kerjaan lain yang lebih enak di pagi hari seperti ini.

Makanya saya lebih memilih menguntai kata demi kata dalam tulisan ini. Saya beri judul fuzzy. Fuzzy adalah pelengkap dari teori himpunan crisp. Merupakan difinisi pelengkap teori himpunan dalam Matematika klasik. Fuzzy menyatakan pemetaan anggota himpunan domain kedalam daerah hasil yang memiliki nilai pada pada interval [0,1]. Satu atau lebih anggota dalam himpunan domain berkorespondensi anggota berderajat 1 (satu) –anggota yang bernilai 1 (satu) dalam daerah hasil artinya bahwa anggota himpunan tersebut persis bernilai seperti dirinya sendiri atau bernilai paling tinggi untuk satuan ukuran anggota domain itu. Jika dikontekstualkan himpunan domain adalah koefisien-koefisien dalam dimensi jiwa, dan pada saat koefisien tersebut berkorespondensi dengan anggota berderajat 1 dalam daerah hasil maka dia adalah berjiwa sesungguhnya seperti pemilik jiwa itu. jika ada yang berkorespondensi dengan derajat dekat dengan 0 (nol) dalam daerah hasil, berarti jiwanya hampir tidak bernilai sama sebagaimana adanya. Terbang melayang-layang entah kemana. 

Jika mungkin bisa diukur, kemarin derajat keanggotaan jiwa saya pasti tidak bernilai 1 (satu), tapi mungkin dibawah 0,8 dan di atas 0,4 (pada kompsisi vertical).

Hmmmmm,,,, setelah tulisan ini salesai…. What’s next?. Jendela kamar saya yang menghadap ke Timur menembuskan cahaya berintensitas rendah ke dalam kamar. Kalau cuaca cerah, gorden jendela warna pink saya (btw itu peninggalan penghuni kamar sebelum saya) sepertinya tak menghalangi pancaran sinar dari ufuk timur. Saat matahari terbit hingga pukul 9.00 AM, kamar saya terang benderang, kalau pada jam itu masih dipaksakan tidur, dijamin rasanya tidak akan nyaman sekali, pupil mata serasa disorot sinar fajar. Tapi kalau hari Sabtu, saya akan paksa bagaimanapun caranya supaya tidak terganggu pada panggilan alam dipagi hari. Sabtu ini agak beda, cuaca mendung dan terdengar suara nyanyian gerimis hujan di luar, dan posisi saya masih berselimut. “Waktu yang pas”, pikirku sambil memperbaiki posisi bantal. Sepertinya tulisan ini harus disudahi dahulu. TITIK.

Salatiga, 12 Maret 20011

Comments

Popular posts from this blog

Ma' tutu nene'

Budaya orang Indonesia menekankan kepada setiap generasi agar mengetahui garis keturunannya hingga beberapa generasi ke belakang. Orang-orang tua akan menurunkan silsilah keluarga itu kepada anak-anaknya secara lisan. Inilah yang menjadi salah satu faktor yang membuat kekeluargaan masyarakat Indonesia sangat erat, dan menjadi ciri tersendiri dalam tatanan masyarakat global.  Warisan budaya lokal kita sebagai masyarakat Indonesia sangatlah kaya. Ditambah dengan kearifan lokal yang terbentuk dalam pergaulan masyarakat sehari-hari semakin membuat kita bangga sebagai masyarakat Indonesia.  Tantangan bagi generasi muda untuk menjaga nilai-nilai luhur yang telah ditanamkan oleh para pendahulu. Warisan budaya menjadi hal esensial untuk tetap kita jaga. Siapapun kita, baik birokrat ataupun sebagai penghulu adat.  Saya sendiri yang tumbuh dan berkembang dalam budaya Toraja sangat ditekankan untuk mengerti akan nilai-nilai budaya Toraja. Itu bukan menjadi pelajaran formal di sekolah tetapi se

Bangunan makam yang unik dari masyarakat Toraja

Halo semuanya, ini adalah tulisan ketiga yang saya kelompokkan ke dalam tulisan tentang budaya lokal, terkhusus mengenai masyarakat Toraja yang tinggal di wilayah Sulawesi Selatan. Kali ini saya akan menulis kebiasaan masayarakat Toraja yang membangun makam bagi keluarga. Ini mungkin janggal kedengaran bagi sahabat blogger bahwa sebagian kecil/besar masyarakat Toraja membangun makan keluarga. Makam seperti ini secara umum di kenal dalam kalangan masayarakat Toraja dengan sebutan  ' patane ' atau ' patani '. Bangunan ' patane ' banyak variasinya, tapi secara umum desain dindingnya berupa bujursangkar atau persegi panjang. Bagian yang banyak divariasi adalah bagian atap. Salah satu 'patane' di daerah Kec. Bastem, Kabupaten Luwu. Courtesy of Joel Pasande 'patane' di daerah gunung Singki', Toraja Utara. Courtesy of Aswan Pasande. 'patane' di daerah gunung Singki', Toraja Utara. Courtesy of Aswan Pasande. 

Menyusuri jalan Trans Sulawesi dari Poso ke Palu

Perjalanan darat yang cukup lama saya lalui selama ini di pulau Sulawesi adalah jalur Makassar – Palopo atau sebaliknya yang menghabiskan waktu lebih dari 8 jam perjalanan. Waktu tersebut bisa menjadi sangat lama, atau bisa menjadi menyenangkan dengan sambil menikmati pemandangan selama perjalanan, tergantung bagaimana menikmati perjalanan tersebut.   Tanggal 26 Maret 2018 lalu saya berkesempatan menyusuri jalur darat yakni jalan Trans Sulawesi dari Kabupaten Poso ke Kota Palu. Kebetulan juga saya ada perjalanan dinas bersama beberapa rekan, dan atasan kami mengajak untuk melewati jalur darat. Saya menganggap jalur darat Poso-Palu ini cukup ringan, karena saya sejak kecil sudah terbiasa dengan jalur darat yang menantang, entah itu dari Palopo ke kampung saya, atau dari Palopo ke Toraja. Dalam benak saya, pengalaman jalur darat saya sudah banyak. Namun, dari informasi teman-teman di Poso jalur Trans Sulawesi dari Poso ke Palu rawan longsor, dan sering buka-tutup jalur. Pada saat Op