Ilustrasi. Corutesy of zifoe.blogspot.com |
Esensi eksistensi mahasiswa menjadi topik yang saya bawakan dalam Latihan Pra Dasar Kepemimpinan mahasiswa FKIP siang tadi (10/04/2011). Sebenarnya ini materi berat untuk saya bawakan. Berangkat dari pergolakan pribadi merefleksikan eksistensi mahasasiswa kontemporer. Akhirnya menjadi bahan perenungan pribadi, apakah saya telah mewujudkan fase eksistensi itu. Ini bukan tidak beralasan. Ketika secara jeli melihat konstelasi mahasisa pada tingkatan kecil sekalipun (fakultas), hanya ada segelintir yang sadar menunjukkan eksistensinya secara esensial. Itu belum berbicara pada tingkatan lokal, regional apalagi nasional. Pasca gerakan reformis, konsolidasi mahasiswa seakan mati suri. Hanya ada suara-suara sumbang, tetapi kemudian hilang digerus isu aktual media. Realita tersebut yang kemudian memunculkan pandangan skeptis pada konstelasi mahasiswa. Para elit/pemangku kepentingan tidak lagi (mungkin) memposisikan mahasiswa sebagai pemilik (intelektual) kekuatan masif untuk melakukan public pressure/social control. Agenda konstelasi mahasiswa tidak lagi seksi diangkat dalam perbincangan-perbincangan santai. Semakin turun pamor dari waktu ke waktu.
Buku. Courtesy of rinaprilia.wordpress.com |
Mahasiswa adalah kaum intelektual yang lepas dari pengaruh politik struktur (kepartaian) sehingga memungkinkan untuk melakukan perlawanan politik dengan penguasa. Ini adalah politik nilai, gerakan yang berporos pada hati nurani dan idealisme. Kekuatan ini kemudian menjadi kekuatan moral dengan konsentrasi melakukan pembelaan dan pendampingan kepada mereka yang ditindas, terpinggirkan dan dicurangi hak-haknya. Pada saat pengusa memble, arogan dan timpang dalam mengambil kebijakan, pada saat itulah gerakan moral muncul untuk memberikan peringatan atau perlawanan sekalipun. Ini tidak muncul begitu saja (gerakan moral). Mahasiswa dibekali dengan pemahaman kritis, analitis, konseptual dan terstruktur sehingga dalam menyikapi suatu isu/kasus akan memunculkan sejumlah solusi.
Penyakit mahasiswa saat ini adalah budaya pragmatis dan hedonis. Menghitung untung rugi jika ingin dilibatkan dalam mengkritisi suatu isu. Kalau dilihat sepintas, memang tidak ada untungnya. Yang ada hanya pengeluaran. Pengeluaran tenaga, pikiran dan mungkin dana juga. Untuk yang mencari kesenangan pribadi, di situ tidak akan ada kesenangan. Demikianlah konstelasi mahasiswa semakin hari semakin suri. Sistem pendidikan/akademis yang membelenggu kita selama ini hampir tak ada yang mengkritisi. Sistem ini semakin mengarahkan mahasiswa menjadi robot akademis yang mana memfokuskan segala daya dan upaya mahasiswa pada pencapaian prestasi akademis dan peningkatan akreditasi. Kegiatan/aksi untuk sekedar bersilaturahmi dengan masyarakat sekitar atau melakukan advokasi politik hanya dilirik sebelah mata oleh kampus. Kesempatan untuk terjun dalam organisasi/front/kesatuan/persekutuan yang membentuk dan membangun idelalisme kritis mahasiswa semakin dibatasi. Semakin hari bisa jadi kampus menjadi menara gading. Apalah arti akreditasi terbaik jika masyarakat sekitar tidak turut merasakan hadirnya kampus kita. Disinilah tanggung jawab moral mahasiswa dipertanyakan. Tidak lagi menyatakan eksistensi secara esensial.
Menjadi mahasiswa yang eksis secara esensial artinya menyadari dan memahami tanggung jawab moral sebagai akademisi dan insan intelektual. Intelektualitas, moral, hati nurani dan idealisme adalah basis gerakan moral mahasiswa. Bermahasiswa adalah menjadi mahasiswa yang ‘bebas’. Bebas dalam artian tidak mau dijadikan robot fakultas/kampus untuk mengikuti tetek bengeknya. Bebas menyuarakan kebenaran. Bebas melakukan pembelaan pada kuam termarginalkan. Sumpah Pemuda, proklamasi, PETA hingga gerakan reformasi adalah momentum romantisme masa lalu yang dimotori oleh pemuda. Mereka adalah contoh pelajar yang tidak memikirkan untung rugi sesaat ketika terjun dalam sebuah pergerakan. Jika nyali mereka ciut dan tidak berani bertindak, mungkin saja republik kita ini seperti sekarang tetapi terus terbelakang dan tunduk pada intervensi asing atau terus dibawah pengaruh rezim korup. Berani mengambil tanggung jawab, itulah kuncinya. Kedepan, peran nyata mahasiswa dalam mengawal kebijakan-kebijakan kampus masih sangat dibutuhkan. Siapa lagi yang akan mengingatkan penguasa kampus jika bukan mahasiswa. Demikian pula dengan pengawalan proses demokrasi kampus kita dan juga negara kita. Peranan mahasiswa memegang posisi sentral.
Comments
Post a Comment