Sangat susah untuk mendapati orang jujur di negeri kita ini. Walaupun demikian saya masih optimis bahwa masih ada yang jujur, tapi pasti jumlahnya secuil. Masih ingat dengan kasus ibu Siami beberapa waktu lalu?. Beliau akhirnya diusir oleh warga tempat beliau menetap karena tindakan ibu Siami yang membeberkan perilaku contek massar di SDN Gadel II/577 Tendes tempat anaknya menuntut ilmu. Ibu siami dihujat oleh warga. Ibu Siami adalah salah satu potret orang jujur. Masih adakah yang lain?. Semoga.
Apakah memang selalu ada konsekuensi ketika seseorang mencoba untuk berlaku jujur. Rasa-rasanya iya. Jujur akan mengantarkan seseorang mulai dijauhi oleh orang-orang di sekitarnya bahkan sampai pada titik klimaks dibenci. Jujur akan mengantarkan seseorang terlalu lama mengumpulkan uang. Dan seterusnya. Begini-begini yang menyebabkan kurangnya jumlah manusia yang hidup dengan budaya kejujuran. Banyak yang tidak jujur, setiap tingkah laku justru menebar kebohongan.
Ketidakjujuran sering kali menjadi dipertontonkan oleh penguasa di negeri kita ini. Mereka tidak malu-malu menunjukkannya di depan umum. Coba kita perhatikan kasus Muhamman Nazaruddin yang lagi santer diperbincangkan masyarakat sejagad Indonesia saat ini. Dari nyanyian-nyanyian Nazaruddin terkuak jika ternyata seorang Anas Urbaningrum yang dikenal selama ini sebagai politisi muda yang bersih justru menang sebagai Ketu Umum dalam kongres dengan politik uang. Atau seorang Angelina Sondakh yang jika dilihat dari luar selayaknya sebagai politisi yang bersih, tapi malah menjadi pemain anggaran di Senayan. Atau seorang Andi Mallaranggeng… Pimpinan KPK, dan semua yang di sebutkan oleh Muhammad Nazaruddin.
Pada akhirnya mereka yang disebut namanya dalam nyanyian Nazaruddin tidak ada yang mengakuinya, semuanya membantah. Dari sini jika kita boleh bermain jujur-jujuran.. sebenarnya siapa yang jujur, apakan Nazaruddin atau orang-orang yang dia sebutkan?. Wallahualam, kita tidak tahu. Bisa saja dua-duanya tidak jujur, atau salah satunya tidak jujur. Tidak mungkin jujur semua.
Itu jika kita memelihat pada orang-orang yang punya kuasa. Mungkin sulit bagi mereka untuk berlaku jujur karena kalau jujur, kekuasaan bisa saja lepas dengan gampangnya. Lalu bagaimana dengan masyarakat kecil?. Ada juga ketidak jujuran di sana. Walaupun tidak semua.
Ini fakta. Seorang tukang parkir yang tidak jujur. Ceritanya seperti berikut.
Tadi malam (14/08/2011 19:00 WITA) saya bersama seorang teman mengendarai sepeda motor menuju Pantai Losari Makassar, Sulawesi Selatan. Kami sangat antusias untuk menikmati udara malam di Pantai Losari mengingat saya sudah sangat lama tidak mengunjungi pantai ini. Teman saya juga demikian, dia malah belum pernah ke Pantai Losari, maklum, bukan warga asli Makassar.
Pada saat sepeda motor kami memasuki area parkir, seorang tukang parkir menghampiri seraya menyodorkan secarik kertas. Kertasnya dilipat satu kali secara simetris, bagian belakangnya (bagian kosong) kini berada di luar. Satu lagi, setelah dilipat seperti itu, bagian tengah lipatan disobek, tapi tidak sampai memotong kertas. Saya juga tidak mengerti mengapa kertasnya dibuat seperti itu. “dua ribu!”, begitu katanya saat lipatan kertas diberikan kepada kami. Saya yang dibonceng yang menerima kertas sekaligus membayarnya.
Lipatan kertas itu adalah lembaran kartu parkir resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah. Setelah sepeda motor kami terparkir dengan baik saya kemudian membuka lipatan kertas. Mata saya langsung tertuju pada nominal yang seharusnya saya bayar tadi ketika memasuki area parkir sepeda motor. Nominal yang seharusnya adalah Rp.1000. Nominal itulah yang resmi. Terus yang seribunya lagi kemana?. Pastinya masuk kantong tukang parkir, karena tadi saya melihat uangnya langsung dikantongi. Saya memang tidak tahu berapa berapa besar yang dibayar jika memarkir motor di sana karena baru kali ini ada tukang parkir yang menjaga. :D
Saya sebenarnya tidak menyoal berapa besar yang saya bayarkan tadi, toh itu sudah menjadi kewajiban pengunjung. Tapi bagaimana jika semua yang membawa sepeda motor ke Pantai Losari membayar uang parkir sebanyak Rp.2000?. Misalkan jumlah sepeda motor yang diparkir sebanyak 100, artinya ada Rp.100.000 uang yang tidak resmi dikantongi oleh sang tukang parkir. Uang itu kemana?. Saya juga tidak tahu.
Inilah fenomena yang kita dapatkan di lingkungan kita, tak hanya penguasa yang sering bohong. Seorang juru parkir juga bisa. Sekarang tantangannya bagaimana kita bisa membangun budaya jujur dala masayarakat. Seolah-olah tidak ada lagi Tuhan yang mengawasi manusia dalam bertingkah laku sehingga seringkali tidak jujur. Atau memang ketidakjujuran itu sudah membudaya?. Saya pikir belum, masih bisa diperbaiki. Cepat atau lambat, tergantung bagaimana kita semua membangun prosesnya. Dimulai dari diri sendiri lalu menularkannya kepada orang lain, kepada keluarga, teman, sahabat, pacar, kenalan hingga semua orang yang beriteraksi dengan kita.
Comments
Post a Comment