Ilustrasi/http://yainal.multiply.com |
Generasi Y lebih sering dianalogikan sebagai pegandrung teknologi tinggi dan peselancar aktif dunia maya. Semenjak bangun pagi hingga tidur malam kembali, aktifitas seharian tidak akan lepas dari gadged. Walaupun hanya seorang dalam kamar, tapi sesungguhnya tengah terhubung dengan jutaan manusia di luar sana. Pola interaksi sosial generasi Y menggeser pola interaksi konvensional generasi sebelumnya yang lebih mengutumakan tatap muka. Inilah yang menjadi karakteristik generasi Y yang kadang juga disebut sebagai ‘Gen Y’.
Pola interaksi sosial yang dijalankan generasi Y cenderung subjektif. Ini juga menurut pandangan subjektifitas saya. Mengapa demikian? Karena pola interaksi yang ditawarkan tidak lagi mengacu pada permainan emosional lawan bicara tapi lebih mencacu pada catatan yang dihasilkan keyboard/keypad dan dikirim melalui perangkat komunikasi canggih. Arah permainan jemari tangan di atas keyboard dapat saja dengan mudahnya membohongi emosi hati, atau sebaliknya. Itulah sebabnya kenapa hasil ketikan jari sulit dipercaya. Apalah artinya pesan singkat (SMS), status Facebook, Twitter, YM, Koprol, MySpace dan lain sebagainya, toh itu semua dapat saja berbeda dengan kata hati dan emosi jiwa. Lain cerita jika bertemu langsung dengan lawan interaksi. Akan lebih bermakna.
Tulisan ini juga berdasarkan pengalaman saya sendiri. Saya sempat online (terhubung pada koneksi internet) selama kurang lebih setahun. Memang sangat terbantu untuk urusan konektivitas dengan rekan dan keluarga di luar sana. Untuk urusan bahan-bahan kuliah dan tambahan referensi penulisan skripsi saya lebih terbantu lagi. Semuanya sangat praktis. Hidup rasanya keren sekali. Bangun pagi langsung mengecek wall Facebook dan juga status twiter. Kadang sendiri dalam kamar, tapi sebenarnya tidak sendiri karena sementara chatting dengan orang-orang di ‘luar’. Facebook sudah lebih penting dan paling pertama dibuka ketika membuka mata di hari yang baru, bukan lagi membuka biblebook.
Semenjak Facebook tenar tahun 2004 silam, kini semakin bermunculan situs jejaring social yang menawarkan fitur konektivitas masing-masing. Semuanya dapat ‘mendekatkan’ kita dengan mereka yang jauh di sana. Tapi sebenarnya lebih membuat orang individualis. Mahasiswa-mahasiswa satu indekost menjadi menutup diri masing-masing di kamar dan sibuk berkomunikasi dengan lawan bicara di internet. Tatap muka dengan teman indekost sendiri lewat, apalagi tatap muka dengan masyarakat sekitar. Tetapi sekali lagi saya ingin mengatakan bahwa tidak semuanya demikian.
Akan lebih nyaman rasanya jika tidak membiasakan diri terhubung dengan internet. Kecuali jika ada keperluan penting. Kita akan terhindar dari rasa penasaran pada status Facebook seseorang atau status twitter seseorang.
Comments
Post a Comment