Skip to main content

Demokrasi Indonesia Dalam Perangkap Budaya Laten Korupsi

PENDAHULUAN
Istilah klasik tentang demokrasi yang telah berkembang sejak abad ke-5 SM masih menjadi perbincangan publik hingga saat ini. Demokrasi berarti pemerintahan rakyat atau lebih dikenal dengan istilah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi bagian penting dalam perjalanan sebuah komunitas masyarakat dalam melaksanakan pola aktifitasnya.

Berbicara mengenai demokrasi berarti berbicara pada topik yang tidak jauh dari tema kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksudkan di sini adalah suatu manajemen pemerintahan yang mengedepankan prinsip etika yang menghargai harkat dan martabat setiap individu. Dalam sekumpulan individu yang membentuk masyarakat, terdapat hak-hak pribadi yang perlu dilindungi dan dihormati. Namun perlu dipahami bahwa hak-hak setiap individu tidaklah dapat dipaksakan untuk dilaksanakan secara keseluruhan tanpa melihat batasan-batasan yang ada. Hal ini terjadi karena pelaksanaan hak-hak tersebut dapat menjadi penghalang atau boomerang bagi orang lain yang ingin melaksanakan haknya. Pada tataran inilah dibutuhkan suatu sistem bersama (consensus) untuk menjaga agar hak-hak setiap orang dapat terlaksana dan diakui tanpa mengganggu orang lain pula dalam melaksanakan haknya. 

Demokrasi yang bertalian erat dengan kekuasaan atau pemerintahan juga perlu dikaji pada segi keberpihakan publiknya. Sesuai dengan esensi demokrasi bahwa pemerintahan ada untuk rakyat maka rakyat pulalah yang menjadi perhatian utama dalam proses perjalanan pemerintahan itu. Hal ini sangat penting karena rakyatlah yang mejadi poros utama dalam perjalanan demokrasi. Pada sisi inilah sebuah konsesus dibutuhkan untuk menjaga agar hak-hak setiap orang mendapatkan perlidungan atau perlakuan yang sama dapat dicapai. Pada topik ini kemudian dikenal tema tentang supremasi hukum yang berarti penghormatan yang sama terhadap hukum baik oleh penguasa maupun rakyat.

Demokrasi yang dilaksanakan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga saat ini mengalami berbagai macam distorsi. Terkhusus apabila dikaji pada tataran pembuat kebijakan dan kelompok akar rumput yang mejadi bagian dari sebuah kekuasaan. Dalam perjalanannya demokrasi ini kemudian terjerat pada budaya laten korupsi yang menyebabkan hak-hak warga Negara ataupun kewajiban Negara dalam melindungi rakyatnya menjadi terbengkalai. Fenomena ini terjadi karena para elit yang menjalankan roda kekuasaan tidak memposisikan rakyat sebagai substansi dasar pelakanaan kekuasaan/pemerintahan, akan tetapi disibukkan dengan urusan pribadi atau kepentingan kelompok dengan iming-iming kekayaan belaka. 

ISI 
Dalam uraian pada pendahuluan disinggung bahwa rakyat merupakan tujuan penyelenggaraan pemerintahan yang mengedepankan asas persamaan hak-hak hukum (supremasi hukum). Dalam hal ini semua entitas dalam konteks kenegaraan memiliki hak yang sama dalam perjalanan demokrasi. Kesamaan status tersebut merupakan dasar prinsip dasar demokrasi dan telah jelas tertuang dalam Konstusi Rebublik ini dimana disebutkan mengenai perlindungan Negara terhadap seluruh rakyatnya . Pengakuan keterlibatan rakyat dalam perumusan kebijakan-kebijakan publik juga menjadi ciri dari demokrasi. Secara eksplisit dapat diuraikan ciri-ciri demokrasi yaitu sebagai berikut:
  1. Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).
  2. Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
  3. Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
  4. Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.

Dalam sejarah perjalanan demokrasi di Indonesia, ciri tersebut diatas tidak berjalan sebagaimana mestinya. Bangsa Indonesia telah lama digerayangi oleh penyakit korupsi. Penyakit ini kemudian berananak pinak dan berakar sampai ke masyarakat dengan berbagai operandi. 

Di Indonesia, korupsi sudah merupakan akibat dari penyelenggaraan pemerintahan yang tidak tertib. Pada mulanya penyakit korupsi tersebut tersebar pada kalangan elit, kemudian menyebar semakin luas pada istitusi hingga pada level birokrasi daerah. 

Kembali menyoroti salah satu ciri demokrasi yang telah disinggung di atas bahwa perlu partisipasi rakyat dalam pembuatan kebijakan publik. Partisipasi masyarakat merupakan perwujudan relasi politik, sosial ekomomi dalam kerangka menciptakan pemerintahan yang akuntabel dan transparan. 

Yang menjadi sorotan utama penulis adalah sejauh mana rakyat dilibatkan pada ruang tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung.  Kecenderungan yang terjadi saat ini adalah para penguasa (elit politik) merumuskan kebijakan publik dengan keberpihakan pada kelompok elit, bukan pada kemaslahatan publik. Sehingga yang kadang terjadi adalah perumusan undang-undang dengan menggelontorkan sejumlah uang bagi anggota dewan yang bertugas untuk itu. Artinya bahwa kebijakan-kebijan publik yang dihasilkan adalah hasil pertisipasi kelompok tertentu dengan kepentingannya ketimbang hasil partisipasi publik. Kelompok yang menikmati kebijakan ini tebatas pada partai politik sebagai jembatan anggota legislative menduduki kursi parlemen, kalangan pengusaha maupun kelompok kelompok penguasa tertentu. 

Kondisi tersebut diatas semakin melebarkan kesenjangan antara masyarakat elit politik dan konstituen. Survey LSI (2008) menunjukkan bahwa partai politik hanya mengakomodasi anggota/konstituen dan cenderung mengabaikan aspirasi masyarakat yang notabene non anggota partai. Dengan adanya survey ini memperjelas aktifitas elit politik yang tidak mengutamakan kepentingan masyarakat.

Elit politik yang berkuasa saat ini semakin memperlihatkan gaya glamor. Dan sangat disayangkan, keglamoran mereka terkadang mengorbankan rakyat kecil karena sesungguhnya yang membiayai itu semua adalah rakyat. Budaya korupsi yang terjadi di Indonesia menjadi semakin berakar dan semakin berpengaruh pada birokrasi umum, sosial ekonomi serta politik.

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dirilis oleh Transparency International Indonesia yaitu 2,8 pada tahun 2009 menunjukkan gambaran buruknya pelayanan publik di Indonesia . Buruknya pelayanan publik ini karena dipicu oleh pelaksana birokrasi yang korup sehingga pelayanan mereka bukan lagi bermotivasi melayani masyarakat akan tetapi bergeser pada motivasi mengakumulasi kekayaan. 

Menyinggung persamaan hak warga Negara, hal ini juga telah dibajak oleh budaya korupsi. Kecenderungan yang terjadi adalah aras akar rumput kurang mendapatkan perhatian dari Negara ketimbang kaum elit yang memiliki banyak akses kesegala lini. Pada berbagai bidang, kemiringan persamaan hak warga Negara tersebut dapat dilihat. Sebagai contoh pada bidang hukum, sudah menjadi rahasia umum jika yang tertangkap basah melakukan pelanggaran adalah dari masyarakat kecil akan langsung dijebloskan ke dalam tahanan. Penjeblosan ini tanpa melalui proses penyelidikan, penyidikan serta penuntutan dengan memperhatiakan hak-hak asasi yang bersangkutan. Lain cerita jika yang tertangkap adalah kaum elit, akan sangat banyak spekulasi beredar karena yang bersangkutan tak ujung-ujung ditahan. Jika sampai pada proses penahanan pun ditempatkan pada ruang ekslusif jika dibandingkan dengan tahanan rakyat biasa. Pemberitaan media yang santer saat ini tentang adanya mafia hukum dalam istansi-instansi pemerintahan semakin menguatkan hipotesa bahwa sebenarnya budaya-budaya korupsi ini sudah berakar dalam institusi-institusi pemerintahan.

Topik terakhir yang akan disoroti adalah mengenai pemilihan umum. Pada hakekatnya konsep pemilihan umum sangat edeal bagi perkembangan demokrasi. Bahwa yang akan memimpin kelompok masyarakat adalah mereka yang dipilih sendiri oleh masyarakat. Hal ini merupakan manifestasi dari makna mendasar tentang demokrasi. Akan tetapi kecenderungan yang terjadi di Indonesia adalah pemilihan umum sarat akan permainan uang (money politics). Diperparah lagi dengan adanya penjualan suara oleh masyarakat kepada calon anggota legislative ataupun orang yang akan menjadi pemimpin pemerintahan pada suatu daerah tertentu. Masyarakat akan memilih orang yang siap menggelontorkan bantuan secara eksplisit baik dalam bentuk dana maupun barang. Modusnya sangatlah beragam, alih-alih memberikan bantuan pada pembangunan daerah atau kebaikan masyarakat akan tetapi sesungguhnya dibalik itu bermaksud untuk menarik hati pemilih. Hal ini semakin diperparah dengan persepsi masyarakat yang melihat hal itu sebagai sesuatu yang etis dan baik adanya bagi perkembangan pembangunan daerah .

PENUTUP
Kondisi tersebut diatas menggambarkan bahwa ciri demokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi oleh seluruh stake holder Negara tidak berjalan optimal. Pemerintahan yang ditugaskan untuk melindungi hak-hak warganya kini berbalik merampas hak-hak warganya. Hal ini terjadi karena budaya korupsi sudah berakar pada tingkatan elit hingga ke aras akar rumput. Demokrasi yang dijalankan adalah demokrasi semu, yang memperlihatkan pola aktifitas seolah olah menjalankan idealnya akan tetapi ada banyak permainan busuk di belakng layarnya. 

Dalam mengawal proses demokrasi yang sehat, perlu suatu pemahaman konprehensif mengenai esensi prinsip-prinsip demokrasi. Pemahaman ini seharusnya secara merata dialami oleh seluruh warga agar tercipta suatu kontrol sosial kepada kelompok elit yang menjalankan roda pemerintahan. Di sisi lain institusi-institusi pemerintahan harus berani mereformasi diri agar fungsi dan perannya dapat dijalankan secara akuntabel, kredibel, trasparan dan partisipatif.

Bahaya laten korupsi yang sedang menggerogoti demokrasi Indonesia dapat dibasmi jika ada niat besar dari pemerintah untuk memberantasnya dan didukung oleh kekuatan publik. Selain itu perlu pemahaman/pendidikan politik yang sehat pada masyarakat agar fungsinya untuk mengontrol berjalannya demokrasi yang sehat dapat terwujud. 


DAFTAR PUSTAKA
  • Alamsyah. 2010. Menanti Demokrasi Deliberatif. http://fisip-pa.unila.ac.id/wordpress/2010/04/demorasi-deliberatif/. Diunduh 27 Mei 2010.
  • Erman Rajagukguk. [t.th.]. The Prospect Of Legal Institutions Reform in Indonesia. [t.t.]
  • George J. Aditjonro dkk. Korupsi, Birokrasi dan Penegakan Hukum. Tahun VII No. 2. 2007. Salatiga: Percik. 
  • Gunce Lugo. 2009. Manifesto Politik Yesus. Yogyakarta: ANDI.
  • Rozidateno Putri Hanida. 2009. Penguatan Peran Masyarakat Dalam Proses Perumusan Kebijakan Publik. http://ozidateno.wordpress.com/2009/01/27/penguatan-peran-masyarakat-dalam-proses-perumusan-kebijakan-publik/. Diunduh 27 Mei 2010.
****
Makalah ini merupakan tugas akhir mata kuliah umum di UKSW, yakni Pendidikan Kewarganegaraan yang diampu oleh bapak Yakub Adi Krisanto. Beliau adalah dosen Fakultas Hukum UKSW.

Comments

Popular posts from this blog

Ma' tutu nene'

Budaya orang Indonesia menekankan kepada setiap generasi agar mengetahui garis keturunannya hingga beberapa generasi ke belakang. Orang-orang tua akan menurunkan silsilah keluarga itu kepada anak-anaknya secara lisan. Inilah yang menjadi salah satu faktor yang membuat kekeluargaan masyarakat Indonesia sangat erat, dan menjadi ciri tersendiri dalam tatanan masyarakat global.  Warisan budaya lokal kita sebagai masyarakat Indonesia sangatlah kaya. Ditambah dengan kearifan lokal yang terbentuk dalam pergaulan masyarakat sehari-hari semakin membuat kita bangga sebagai masyarakat Indonesia.  Tantangan bagi generasi muda untuk menjaga nilai-nilai luhur yang telah ditanamkan oleh para pendahulu. Warisan budaya menjadi hal esensial untuk tetap kita jaga. Siapapun kita, baik birokrat ataupun sebagai penghulu adat.  Saya sendiri yang tumbuh dan berkembang dalam budaya Toraja sangat ditekankan untuk mengerti akan nilai-nilai budaya Toraja. Itu bukan menjadi pelajaran formal di sekolah tetapi se

Bangunan makam yang unik dari masyarakat Toraja

Halo semuanya, ini adalah tulisan ketiga yang saya kelompokkan ke dalam tulisan tentang budaya lokal, terkhusus mengenai masyarakat Toraja yang tinggal di wilayah Sulawesi Selatan. Kali ini saya akan menulis kebiasaan masayarakat Toraja yang membangun makam bagi keluarga. Ini mungkin janggal kedengaran bagi sahabat blogger bahwa sebagian kecil/besar masyarakat Toraja membangun makan keluarga. Makam seperti ini secara umum di kenal dalam kalangan masayarakat Toraja dengan sebutan  ' patane ' atau ' patani '. Bangunan ' patane ' banyak variasinya, tapi secara umum desain dindingnya berupa bujursangkar atau persegi panjang. Bagian yang banyak divariasi adalah bagian atap. Salah satu 'patane' di daerah Kec. Bastem, Kabupaten Luwu. Courtesy of Joel Pasande 'patane' di daerah gunung Singki', Toraja Utara. Courtesy of Aswan Pasande. 'patane' di daerah gunung Singki', Toraja Utara. Courtesy of Aswan Pasande. 

Menyusuri jalan Trans Sulawesi dari Poso ke Palu

Perjalanan darat yang cukup lama saya lalui selama ini di pulau Sulawesi adalah jalur Makassar – Palopo atau sebaliknya yang menghabiskan waktu lebih dari 8 jam perjalanan. Waktu tersebut bisa menjadi sangat lama, atau bisa menjadi menyenangkan dengan sambil menikmati pemandangan selama perjalanan, tergantung bagaimana menikmati perjalanan tersebut.   Tanggal 26 Maret 2018 lalu saya berkesempatan menyusuri jalur darat yakni jalan Trans Sulawesi dari Kabupaten Poso ke Kota Palu. Kebetulan juga saya ada perjalanan dinas bersama beberapa rekan, dan atasan kami mengajak untuk melewati jalur darat. Saya menganggap jalur darat Poso-Palu ini cukup ringan, karena saya sejak kecil sudah terbiasa dengan jalur darat yang menantang, entah itu dari Palopo ke kampung saya, atau dari Palopo ke Toraja. Dalam benak saya, pengalaman jalur darat saya sudah banyak. Namun, dari informasi teman-teman di Poso jalur Trans Sulawesi dari Poso ke Palu rawan longsor, dan sering buka-tutup jalur. Pada saat Op