Skip to main content

Barang Mahalnya Toraja


Kerbau belang seharga Rp.180.000.000
Salah satu destinasi wisata Toraja yang tak kalah menarik adalah pasar hewan di daerah Bolu, Rantepao – Toraja Utara. Masyarakat Toraja lebih mengenalnya sebagai ‘pasa’ tedong’ (baca: ‘pasar kerbau’). Hal yang wajar jika disebut pasar kerbau karena mamalia tesebutlah yang paling banyak diperjual-belikan di sana. Hanya ada dua jenis hewan mamalia di jual di pasar hewan tersebut, jenis yang kedua adalah babi.

Aktivitas di pasar kerbau tidak dilaksanakan setiap hari, hanya dilakukan sekali dalam 6 hari. Jadi, jika seseorang berkunjung ke pasar kerbau bukan pada hari pasar, maka lokasi yang dijadikan pasar kerbau tersebut tak jauh beda dari tanah kosong biasa yang dilengkapi dengan kios-kios dagang.

Tanggal 22 Desember 2011, saya sengaja ikut om ke Rantepao yang akan beli perlengkapan bangunan dan beli babi untuk acara natal di Bastem. Momentum yang saya kejar adalah pasar kerbau di Rantepao, kebetulan hari itu adalah hari ‘pasa’ tedong’. Jujur, saya belum pernah ke sana, makanya saya manfaatkanlah kesempatan jalan-jalan gratis bersama mobilnya om. Misi saya adalah jalan-jalan menikmati panorama Toraja, sedangkan yang lain untuk belanja. LOL.


Di pasar kerbau, saya sempat menanyakan harga mamalia favorit masyarakat Toraja tersebut. Ada beberapa ekor yang menarik perhatian saya yakni jenis ‘tedong bonga’ (kerbau belang). Di sana ada sangat banyak kerbau, mungkin jumlahnya ratusan. Di antara kerbau-kerbau tersebut ada beberapa yang berjenis kerbau belang. Warna kulitnya sangat mencolok karena ada warna putih pada beberapa bagian kulitnya, dan yang pasti harganya juga sangat mencolok.

Kerbau pertama yang sempat saya tanyakan harganya adalah ‘tedong bonga’ dengan harga Rp.40.000.000. Saya sontak kaget mendengar harga selangit itu, padahal kerbaunya belum terlalu dewasa. Di samping kerbau yang tadi, ada lagi satu kerbau belang yang ukurang badannya lebih besar dari yang pertama. Ketika saya tanyakan harganya, harga kerbau yang satu ini lebih gila lagi. Harganya Rp.180.000.000. Wah harganya gila.

Kerbau-kerbau tersebut semuanya dijual untuk di sembelih di prosesi adat, tak terkecuali kerbau yang berharga selangit itu. Memang ada prosesi adat di Tana Toraja yang mengharuskan penyembelihan kerbau belang. Jadi, jika keluarga yang melakukan prosesi tidak memiliki kerbau belang sendiri maka jalan satu-satunya adalah membelinya, tentu dengan harga selangit. Tidak dipungkiri jika sebua prosesi adat di Tana Toraja (misal prosesi pemakaman) menelan biaya total hingga miliaran Rupiah.

Saya sempat curi-curi kesempatan untuk mengambil beberapa foto dari berbagai sudut pasar tedong itu. Oyah, di sana juga ada sangat banyak babi. Mereka semua dijual. Setelah semua urusan ke Rantepao selesai, waktunya bagi kami untuk pulang ke Bastem.
Suasana jalan masuk pasar

Salah satu aktivitas di dalam pasar

Pemandangan salah satu sudut pasar

Kerbau belang
Suasana pasar

Bule ini tidak dijual...

Teman-temannya bule yang pake baju ijo di atas.


Another 'bonga'


Numpang narsis bersama kerbau dan penjualnya.

Babi

Babi ini semua dijual.

Status: "Menunggu pembeli"

Jika ada yang tertarik dan penasaran melihat hiruk-pikuk dalam keramaian pasar kerbau di Bolu, Toraja Utara, segera saja ke sana. Akan sangat mengesankan jika seseorang pertama kali mengunjungi dan melihat suasana dalam pasar kerbau (seperti halnya yang saya alami). Lokasi pasar tidak sudah di cari, semua masyarakat Toraja pasti akan tahu hal itu jika ditanyakan kepada mereka. Dapat dicapai kurang dari 10 menit mengendarai kendaraan bermotor dari Kota Rantepao, Toraja Utara.

Foto: dok pribadi. 

Comments

Popular posts from this blog

Ma' tutu nene'

Budaya orang Indonesia menekankan kepada setiap generasi agar mengetahui garis keturunannya hingga beberapa generasi ke belakang. Orang-orang tua akan menurunkan silsilah keluarga itu kepada anak-anaknya secara lisan. Inilah yang menjadi salah satu faktor yang membuat kekeluargaan masyarakat Indonesia sangat erat, dan menjadi ciri tersendiri dalam tatanan masyarakat global.  Warisan budaya lokal kita sebagai masyarakat Indonesia sangatlah kaya. Ditambah dengan kearifan lokal yang terbentuk dalam pergaulan masyarakat sehari-hari semakin membuat kita bangga sebagai masyarakat Indonesia.  Tantangan bagi generasi muda untuk menjaga nilai-nilai luhur yang telah ditanamkan oleh para pendahulu. Warisan budaya menjadi hal esensial untuk tetap kita jaga. Siapapun kita, baik birokrat ataupun sebagai penghulu adat.  Saya sendiri yang tumbuh dan berkembang dalam budaya Toraja sangat ditekankan untuk mengerti akan nilai-nilai budaya Toraja. Itu bukan menjadi pelajaran formal di sekolah tetapi se

Bangunan makam yang unik dari masyarakat Toraja

Halo semuanya, ini adalah tulisan ketiga yang saya kelompokkan ke dalam tulisan tentang budaya lokal, terkhusus mengenai masyarakat Toraja yang tinggal di wilayah Sulawesi Selatan. Kali ini saya akan menulis kebiasaan masayarakat Toraja yang membangun makam bagi keluarga. Ini mungkin janggal kedengaran bagi sahabat blogger bahwa sebagian kecil/besar masyarakat Toraja membangun makan keluarga. Makam seperti ini secara umum di kenal dalam kalangan masayarakat Toraja dengan sebutan  ' patane ' atau ' patani '. Bangunan ' patane ' banyak variasinya, tapi secara umum desain dindingnya berupa bujursangkar atau persegi panjang. Bagian yang banyak divariasi adalah bagian atap. Salah satu 'patane' di daerah Kec. Bastem, Kabupaten Luwu. Courtesy of Joel Pasande 'patane' di daerah gunung Singki', Toraja Utara. Courtesy of Aswan Pasande. 'patane' di daerah gunung Singki', Toraja Utara. Courtesy of Aswan Pasande. 

Menyusuri jalan Trans Sulawesi dari Poso ke Palu

Perjalanan darat yang cukup lama saya lalui selama ini di pulau Sulawesi adalah jalur Makassar – Palopo atau sebaliknya yang menghabiskan waktu lebih dari 8 jam perjalanan. Waktu tersebut bisa menjadi sangat lama, atau bisa menjadi menyenangkan dengan sambil menikmati pemandangan selama perjalanan, tergantung bagaimana menikmati perjalanan tersebut.   Tanggal 26 Maret 2018 lalu saya berkesempatan menyusuri jalur darat yakni jalan Trans Sulawesi dari Kabupaten Poso ke Kota Palu. Kebetulan juga saya ada perjalanan dinas bersama beberapa rekan, dan atasan kami mengajak untuk melewati jalur darat. Saya menganggap jalur darat Poso-Palu ini cukup ringan, karena saya sejak kecil sudah terbiasa dengan jalur darat yang menantang, entah itu dari Palopo ke kampung saya, atau dari Palopo ke Toraja. Dalam benak saya, pengalaman jalur darat saya sudah banyak. Namun, dari informasi teman-teman di Poso jalur Trans Sulawesi dari Poso ke Palu rawan longsor, dan sering buka-tutup jalur. Pada saat Op