Malam hari (Sabtu, 08 Mei 2011) sebelum pencoblosan Kepala Daerah Salatiga, saya baru pulang beli nasi putih dari warung makan sebelah kost. Hanya beli nasi putih karena saya sudah beli rica-rica RW usaha dana Mapper GMKI yang diantar Martin dan Paul ke kost sore harinya. Dari warung, saya jalan lewat depan rumah pemilik kost. Di teras depan rumah ada seorang bapak yang cukup saya kenal di lingkungan kost saya, sebut saja bapak ‘Ronn’ sementara diskusi dengan dua orang paruh baya yang sepertinya belum pernah saya lihat sebelumnya di daerah kost saya. Otak nakal saya langsung bekerja dan langsung menebak kalau mereka (dua orang paruh baya) adalah tim sukses salah satu pasangan Cawali dan Cawawali Kota Salatiga yang akan dicoblos besok. Saya kemudian jalan melewati mereka sembari memberi hormat ala wong jowo dan dibalas dengan sapaan ala wong jowo juga. Tak ada basa-basi, saya langsung masuk kamar kemudian makan. Jiwa! (RWnya).
Spanduk kandidat Pilkada. Courtesy of m.komhukum.com |
Kami terus mengobrol dan pak Ronn sempat bilang kalau salah satu pasangan calon permainannya sangat cepat. “Oyah?”, saya langsung menyela. Menurut beliau, tim sukses salah satu pasangan itu gerakannya gesit dalam melakukan kepada masyarakat sekitar sini (sekitar daerah indekost saya). Gerakan yang dimaksud beliau adalah pembagian amplop berisi uang tunai Rp.50.000 kepada warga. Pak Ronn dapat satu amplop. Kemudian diceritakan lagi kalau dua orang tadi malam itu juga tim sukses, tapi mereka dari pasangan lainnya lagi. Huaaah,, sudah saya duga. Tujuan dua orang semalam itu gampang ditebak (menurut saya). Tak lain adalah untuk melobi pak Ronn dengan imbalan amplop juga. Sayangnya pak Ronn menolak dilobi lagi dengan amplop dan bilang kalau sudah dapat amplop dari tim sukses yang sudah gerak sore harinya sebelum kedatangan mereka berdua. Jawaban itu sah-sah saja dan bijak jika saya boleh menilai.
Tak lama kemudian ada satu keluarga yang lewat di depan rumah, masih bertetangga dengan indekost saya jadi saya cukup kenal mereka. Mereka baru pulang mencoblos di TPS terdekat. Bapak keluarga itu mengobrol lagi dengan kami (saya dan pak Ronn) yang kebetulan duduk-duduk santai di teras depan rumah. Saya tangkap dari pembicaraan pak Ronn dengan bapak yang tadi kalau mereka pasti mencoblos pasangan yang sudah memberikan amplop. Siapa lagi kalau bukan pasangan yang tim suksesnya sudah gerak sore kemarin (Sabtu, 08 Mei 2011) melobi warga dengan imbalan amplop. “wah, gawat nih”, saya mengernyutkan kening sendiri. Kalau saya yang jadi pemegang hak pilih dan ada tim sukses yang menawarkan amplop. Oke, amplopnya ko taro sudah. Urusan nanti mau pilih siapa tetap jadi urusan privat saya. Terlebih dahulu akan lihat reputasi, kredibilitas hingga profesionalitas dari seluruh pasangan calon dan pastinya ada satu yang terbaik, itulah yang akan saya coblos. Tapi itu kalau saya. Beda dengan dua orang bapak yang sementara mengobrol dengan saya. Siapa yang kasi amplop duluan, itu yang mereka coblos.
Money Politics-kah itu?
Terlepas dari etis ataupun tidak etisnya pembagian uang tunai tersebut, hal itu adalah salah satu bentuk politik uang (money politics). Saya sedikit mengutip pandangan yang disampaikan Theodorus Wuryanto tentang pengertian money politics. Dikatakan bahwa money politics merupakan praktik pemberian uang atau barang atau memberi iming-iming sesuatu, kepada massa (voters) secara berkelompok atau individual, untuk mendapatkan keuntungan politis (political gain). Atau merujuk pada pandangan Yusril Ihza Mahendra (Jawa Pos, 16 Februari 1999) mendefinisikan money politics sebagai upaya mempengaruhi massa pemilu dengan imbalan materi (disadur dari Theodorus Wuryanto dalam tulisannya berjudul “Siapa Bilang Money Politics Tidak Etis?”, Jurnal Renai. 2007: 70-72).
Memang tak ada patokan baku mengenai batasan-batasan money politics namun dengan pengertian sederhana di atas dapat menuntun kita untuk menyimpulkan bahwa praktik pembagian uang tunai dalam amplop adalah bentuk money politics. Sebenarnya masih banyak praktik money politics yang berkedok bantuan social seperti pemberian santunan, bantuan pengerasan jalan kampung, bantuan pembangunan rumah ibadat hingga pembagian sembako yang berdekatan/menjelang pemilukada oleh kandidat Kepala Daerah. Namun kesemuanya itu masih membutuhkan dialektika untuk mengkategorikannya sebagai money politics. Saya sendiri tak mampu berkata banyak di sini karena nanti ujung-ujungnya berusan dengan penguasa politik. Cukup menyoal praktik pemberian uang tunai yang sangat dekat di lingkungan saya sendiri pada saat ini.
Ternyata praktik pembagian amplop bukan hanya terjadi di sekitar indekost saya. Ada informasi tambahan dari teman-teman saya yang lainnya sewaktu bertemu mereka pada hari Senin sore, 9 Mei 2011 di kafe kampus UKSW. Sambil menyeruput kopi hangat, kami mengobrol sedikit mengenai Pilwalkot Salatiga. Salah satu teman yang bilang kalau ada pembagian amplop yang isinya Rp.250.000. Sebenarnya saya tidak kaget mendengar info itu, sebelumnya pernah dengar kalau di Pilkada salah satu daerah, salah satu calon Kada dan tim suksesnya bahkan berani menyebar amplop berisi Rp.300.000 untuk satu orang pemegang hak pilih.
Money politics. Terjadi di lingkungan keseharian saya sendiri. Itu baru terjadi di Kota Salatiga. Belum lagi jika melihat-lihat apa yang terjadi di daerah lain yang menyelenggarakan Pilkada.
Diakui bahwa pola pemilihan pemimpin di negeri ini sudah mengalami kemajuan signifikan. Dulu, rakyat hanya mencoblos tanda gambar partai politik kemudian urusan selanjutnya ditangani elit politik. Rakyat tak tau bagaimana proses dan mekanismenya. Seakan-akan hanya menjadi pencoblos buta. Kini kepala daerah dapat dipilih langsung oleh rakyat sendiri. Namun ada konsekuensi lain yang turut andil dalam transformasi pola demokrasi ini. Mau tidak mau kandidat Kepala Daerah akan seintensif mungkin melobi para pemegang hak pilih untuk mendapatkan legitimasi menjadi Kepala Daerah. Maka jalan praktis ditempuh dengan praktik amplop. Terjadilah pembeliaan suara.
Yang menjadi pemegang kunci adalah rakyat kecil yang punya hak pilih. Pemilih yang cerdas akan memilih kandidat yang memang layak menjadi Kepala Daerah. Kebanyakan yang terjadi sekarang adalah masyarakat memilh kandidat yang menyetor uang tunai yang nominalnya paling layak. Memilih berdasarkan intuisi pragmatis. Artinya bahwa pemilih belum cerdas.
Pilkada salatiga adalah momentum bagi warga untuk menentukan pemimpi Kota Salatiga yang berimplikasi pada pembangunan daerah 5 tahun kedepan. Kepentingan 5 tahun tergadaikan ketika warga dibutakan oleh isi amplop. Sayangnya hal itu masih terjadi di Kota Salatiga. Tinggal bagaimana sekarang kita menilai…. Apakah Pilkada itu bersih atau tidak?.
Semoga seiring dengan perjalan waktu masyarakat umum semakin cerdas dalam berdemokrasi. Cerdas dalam ber-Pilkada. Salam perjuangan.
Comments
Post a Comment