Sekitar Pos II Merbabu |
Malam itu saya kembali merasakan jiwa dan raga menggelora karena semangat mendaki. Sudah lama saya tidak mendaki gunung lagi semenjak pendakian gunung Sumbing tahun lalu. Tidak mendaki selama itu membuat mata serasa kering. Kering akan indahnya panorama alam, akan luasnya lautan awan putih dan akan lembutnya sapaan embun pagi. Kali ini saya bersemangat kembali, walaupun bayang-bayang hujan deras terus menghantui, terlebih jika hujan disertai badai, dijamin pendakian tidak akan sukses.
Kami memulai pendakian melalui jalan kampung Cuntel, jalan setapak melalui ladang, jalan berundak, jalan menanjak hingga masuk hutan tropis. Jalan setapak semakin menantang untuk ditaklukkan. Jalan semakin menanjak mengikuti kontur tanah, semakin memaksa untuk menggunakan lebih banyak energy. Tak terasa telah berjalan kaki ratusan meter dan sepertinya tujuan masih jauh ke atas.
Jika dalam perjalanan, tulang paha mulai terasa lelah dan otot betis hingga paha mulai terasa panas, itu artinya perlu istrahat sejenak. Rasa kelelahan itu juga akan merambat ke otot di daerah punggung dan dada, itu artinya harus meletakkan tas carrier sejenak.
Rasa lelah sepanjang perjalanan terobati pada saat sampai di pos II, saat tenda-tenda telah didirikan. Obat penghilang rasa capai termanjur adalah suguhan pemandangan alam.
Malam hari, saat tonggerat baru berani bersuara. Waktu berkelana bagi burung malam. Pos II gunung Merbabu menjadi ramai seketika karena kehadiran kami. Kami yang rela meninggalkan segala kemeriahan di bawah sana, rela merasakan kelelahan karena beban di atas punggung sambil menapaki jalan terjal. Kami rela merasakan perihnya kaki, rela membiarkan tubuh dicumbui angin malam, angin pegunungan yang dingin dan basah.
Permainan titik cahaya
Saya sengaja berdiri di luar tenda saat teman-teman satu timku sudah berdiam dalam tenda masing-masing. Sejenak menyendiri di luar, sejenak menyingkir dari canda tawa para pendaki. Saya mulai bermain dengan logikaku sendiri. Segala sesuatu yang berjejal dalam otakku kini seolah-olah terfragmentasi oleh keadaan di sekeliling. Di bawah sana terlihat hamparan titik-titik cahaya yang tak beraturan letaknya. Hamparan cayaha itu adalah himpunan cahaya penerangan jalan, cahaya lampu dari gedung-gedung, cahaya kendaraan bermotor hingga himpunan cahaya dari rumah-rumah penduduk. Semuanya tergabung dalam semesta himpunan yang tak beraturan letaknya. Ketika menengadah ke arah cakrawala, di sana juga terlihat samar-samar cahaya bintang.
Malam itu saya benar-benar sendiri di luar. Inilah suasana yang saya cari dari tadi. Menikmati keindahan alam tanpa terganggu hiruk-pikuk di samping kanan dan kiri. Saya terdiam, mengatupkan mulut karena memang tak ada lawan komunikasi verbal. Dalam keterdiaman, saya menyapa bintang-bintang di atas cakrawala, menyapa selimut awan yang ternyata dari tadi setia bersamaku, menyapa angin malam yang semakin mendinginkan kulit. Mereka semua adalah temanku malam itu sambil menikmati hamparan titik-titik cahaya tak beraturan di bawah sana.
Berdiri beberapa saat membuat saya mulai merasakan ketenangan. Sensasi alam mulai bermain dalam logika dan saya mulai merasakannya. Semuanya menyatu menjadi satu kesatuan kompleks: dingin, cahaya, samar-samar suara dari bawah (karena aktivitas manusia pada malam hari), angin malam, burung malam, dan bintang. Dari semua itu, focus pandangan dan pikiran saya bermain pada hamparan titi-titik cahaya. Keliahatan sangat cantik.
Pikiranku bermain. Terus bermain dan mulai memainkan hamparan titik-titik cahaya tak beraturan itu. Keliahatan menjadi sedikit terintegrasi satu sama lain dan membentuk sebuah konfigurasi. Tak sengaja sebuah lukisan wajah terhampar di hadapanku. Wajah itu saya kenal baik. Dia tersenyum polos padaku. Sebuah lukisan yang menyadarkanku, membawaku pada ujung lorong kerinduan. Tiba-tiba saya sedang merindukan dia, pemilik senyuman polos dan manis. Saya tersenyum indah, ini adalah malamku, bersama tonggeret dan jangkrik dan sepotong rasa rindu. Sontak saya tersadar dari permainan pikiranku itu, hamparan titik-titik cahaya kini mulai berposisi seperti semula. Lukisan wajah itu semakin samar dan akhirnya menyatu bersama gelap. Udara malam semakin menusuk, dan saya pun beranjak dari tempatku mematungkan diri dari tadi. Kembali ke dalam tenda dan menghabiskan sisa malam bersama para pendaki.
Capai dan lelah selama pendakian kini sudah terobati sepenuhnya, melalui malam indah dan pagi yang berseri. Pagi yang dipenuhi kabut putih, lautan awan yang sangat luas. Merbabu, kau mengingatkanku padanya.
Pagi menjelang siang tanggal 27 Maret 2011 adalah waktu untuk menanam pohon. Setelah semuanya tertanam, kami bergegas dan berjalan turun menuju base camp.
Cuntel-Merbabu-Salatiga, 26-27 Maret 2011
Comments
Post a Comment