Itu untuk Rama, yang telah menorehkan karya imaginernya dalam sebuah title “Landorundun”. Mengikuti alur dalam title itu membuatmu serasa berada di suatu lembah sejuk dan dipagari deretan gunung. Suatu tempat yang familiar ditelinga dengan sebutan Toraja. Membaca habis “Landorundun” berhasil menumbuhkan cinta saya akan Toraja untuk kesekian kalinya. Membuat saya kembali menelusuri kanal-kanal memori yang telah lama tersimpan. Putih abu-abu, periode saya menggunakan seragam itu, sepenuh jiwa dan raga saya dimanjakan oleh suguhan kesempurnaan alam. Disapa udara sejuk dipagi hari, disuguhkan lukisan alam Sang Pencipta di siang hari, dan kembali melambaikan tangan pada fajar yang pergi dengan sinar jingganya di sore hari. Setiap hari akan penuh dengan senyum kekaguman pada keagungan Tuhan melalui karya ciptaannya. Akan semakin lengkap jika menyempatkan diri berdiri di Batu Tumonga dan memandang ke arah ufuk timur, menyambut kedatangan fajar. Dibatasi oleh deretan gunung, sejauh mata memandang… tata letak alam yang begitu sempurna kini terhampar di depan mata.
|
Berpose narsis - Bersama penulis (tengah) dan juri (kanan) |
Itulah yang membuat saya angkat topi untuk Rama, panggilan untuk penulis novel “Landorundun”. Sebagai apresiasi (subjektif) saya sampaikan untuk penulis ketika menghadiri acara bedah novelnya di asrama Kartini. Yeah, tambah senang saat pembagian door price, saya dapat satu novel lagi. Entah indicator penilaian mana yang dirujuk sang juri sampai komentar saya yang dinilai layak mendapat door prize novel itu. hehehehehe,,,, tapi oke juga, dapat novel gratis beserta tandatangan penulisnya ditambah makan gratis menjadi penanda acara bedah novel itu.
Semua itu, yang penting adalah…..
Jauh-jauh pergi ke luar, jangan sampai lupa diri akan sebuah identitas kultur. Sesuatu yang melekat pada diri manusia nusantara ini, yang menjadikan bangsa kita kaya akan nilai budaya. Sungguh tak diinginkan jika telah menempuh pendikan tinggi tapi identitas kulturnya diluruhkan oleh waktu. Waktu tak mungkin mundur, tapi akan terus berputar. Waktu menjadi variable bebas yang koefisiennya searah dengan sumbu positif mendatar pada kuadran satu. Identitas kultur pada sumbu vertical positif menjadi variable terikatnya. Melupakan nilai budaya dan kearifan local hanya menciptakan kurva dengan gradient melulu negative. Bukan kurva bergradien positif , padahal itu yang diharapkan.
Yang diinginkan adalah….Terus-menerus mengakumulasi ilmu. Kontekstual ilmu tidak terbatas pada ruang fakultas, tapi seluas samudera.
Salatiga, 13 Maret 2011
Comments
Post a Comment