Skip to main content

Menyusuri Benteng Otanaha di Gorontalo

Masih dalam lingkup Kota Gorontalo, ada sebuah benteng yang terletak di atas bukit Dembe Satu, Desa Dembe Satu, Kecamatan Kota Barat, Kota Gorontalo. Berjarak 8 Km dari pusat Kota Gorontalo, estimasi perjalan 25 menit menggunakan kendaraan roda empat, diakses melalui Jl. Raya Eyato. Jalan raya ke arah benteng sudah bagus dapat dilalui kendaraan roda empat dan roda dua dengan mulus.
 
Kami mengakses lokasi benteng dari arah pantai Biluhu melalui Jl. Raja Panimpi. Jalur yang kami lalui cukup menantang dengan menggunakan sepeda motor. Dimulai dari desa Biluhu Timur, naik menyusuri pegunungan, melewati puncak dan turun mendapati jl. Raya Eyato lalu berbelok ke arah kanan menyusuri Jl. Raya Eyato. Dari Jl. Raya Eyato sudah terlihat di atas perbukitan bangunan benteng Otanaha. Kami menghabiskan waktu perjalan sekitar 1 jam menggunakan sepeda motor dari pantai Biluhu hinga tiba di lokasi Benteng Otanaha. Untuk masuk ke lokasi benteng dikutip tarif Rp.5.000/orang. Siapkan juga uang parkir jika masuk menggunakan kendaraan bermotor, karena di atas bukit masih harus membayar parkir. Untuk sepeda motor yang kami parkir dikutip tarif Rp.2.000/kendaraan.


Di lokasi bangunan bukit sebetulnya ada 3 bangunan benteng, masing-masing benteng Otanaha, . Keseluruhan bangunan benteng lazim disebut benteng Otanaha, Otaniya dan Ulupaha. Berdasar informasi di lokasi situs benteng, benteng Otanaha dibangun pada tahun 1525 dan ditemukan kembali pada tahun 1585. Otanaha berasal dari kata Ota yang berarti benteng dan Naha adalah orang yang menemukan sehingga Otanaha berarti benteng yang ditemukan oleh Naha. Tujuan dibangunnya benteng ini sebagai tempat perlindungan dan pertahanan untuk melawan para penjajah Portugis.

  

Bahan bangunan benteng dibuat dari batu gunung dan direkatkan dengan kapur yang dicampur denga putih telur burung maleo. Terbayang betapa rumitnya membangun benteng ini pada zamannya, mengangkut batu ke atas bukit serta mengumpulkan putih telur dari telur burung maleo.

Ada dua jalur menaiki bangunan benteng, jalan kaki melalui jalur tangga dari pintu masuk, serta bisa menggunakan kendaraan bermotor roda empat ataupun roda dua memutari bukit dari pintu masuk memutari bukit berlawanan jarum jam. Kendaraan bermotor bisa sampai ke atas bukit tempat bangunan benteng.

 
Lokasi perbukitan tempat dibangunnya benteng bersebelahan dengan dataran rendah tempat danau Limboto. Sehingga dari atas bangunan benteng terhampar pemandangan danau Limboto. Kota Gorontalo juga bisa terlihat dari arah benteng. Saya hanya memasuki benteng Otanaha dan Otahiya.

 

 
Benteng Otanaha berbentuk lingkaran, hanya satu akses untuk memasukinya. Karena fungsinya sebagai tempat perlindungan, maka disisi benteng terdapat celah keluar, fungsinya untuk memantau pergerakan di luar atau jalur untuk menyerang ke arah luar. Saya merasakan aura peperangan zaman colonial Portugis di lokasi benteng itu. Bagaimana gigihnya pihak keraan Gorontalo mempertahankan dareahnya dari rebutan penjajah.

 
 
 
 
 


Comments

Popular posts from this blog

Ma' tutu nene'

Budaya orang Indonesia menekankan kepada setiap generasi agar mengetahui garis keturunannya hingga beberapa generasi ke belakang. Orang-orang tua akan menurunkan silsilah keluarga itu kepada anak-anaknya secara lisan. Inilah yang menjadi salah satu faktor yang membuat kekeluargaan masyarakat Indonesia sangat erat, dan menjadi ciri tersendiri dalam tatanan masyarakat global.  Warisan budaya lokal kita sebagai masyarakat Indonesia sangatlah kaya. Ditambah dengan kearifan lokal yang terbentuk dalam pergaulan masyarakat sehari-hari semakin membuat kita bangga sebagai masyarakat Indonesia.  Tantangan bagi generasi muda untuk menjaga nilai-nilai luhur yang telah ditanamkan oleh para pendahulu. Warisan budaya menjadi hal esensial untuk tetap kita jaga. Siapapun kita, baik birokrat ataupun sebagai penghulu adat.  Saya sendiri yang tumbuh dan berkembang dalam budaya Toraja sangat ditekankan untuk mengerti akan nilai-nilai budaya Toraja. Itu bukan menjadi pelajaran formal di sekolah tetapi se

Bangunan makam yang unik dari masyarakat Toraja

Halo semuanya, ini adalah tulisan ketiga yang saya kelompokkan ke dalam tulisan tentang budaya lokal, terkhusus mengenai masyarakat Toraja yang tinggal di wilayah Sulawesi Selatan. Kali ini saya akan menulis kebiasaan masayarakat Toraja yang membangun makam bagi keluarga. Ini mungkin janggal kedengaran bagi sahabat blogger bahwa sebagian kecil/besar masyarakat Toraja membangun makan keluarga. Makam seperti ini secara umum di kenal dalam kalangan masayarakat Toraja dengan sebutan  ' patane ' atau ' patani '. Bangunan ' patane ' banyak variasinya, tapi secara umum desain dindingnya berupa bujursangkar atau persegi panjang. Bagian yang banyak divariasi adalah bagian atap. Salah satu 'patane' di daerah Kec. Bastem, Kabupaten Luwu. Courtesy of Joel Pasande 'patane' di daerah gunung Singki', Toraja Utara. Courtesy of Aswan Pasande. 'patane' di daerah gunung Singki', Toraja Utara. Courtesy of Aswan Pasande. 

Menyusuri jalan Trans Sulawesi dari Poso ke Palu

Perjalanan darat yang cukup lama saya lalui selama ini di pulau Sulawesi adalah jalur Makassar – Palopo atau sebaliknya yang menghabiskan waktu lebih dari 8 jam perjalanan. Waktu tersebut bisa menjadi sangat lama, atau bisa menjadi menyenangkan dengan sambil menikmati pemandangan selama perjalanan, tergantung bagaimana menikmati perjalanan tersebut.   Tanggal 26 Maret 2018 lalu saya berkesempatan menyusuri jalur darat yakni jalan Trans Sulawesi dari Kabupaten Poso ke Kota Palu. Kebetulan juga saya ada perjalanan dinas bersama beberapa rekan, dan atasan kami mengajak untuk melewati jalur darat. Saya menganggap jalur darat Poso-Palu ini cukup ringan, karena saya sejak kecil sudah terbiasa dengan jalur darat yang menantang, entah itu dari Palopo ke kampung saya, atau dari Palopo ke Toraja. Dalam benak saya, pengalaman jalur darat saya sudah banyak. Namun, dari informasi teman-teman di Poso jalur Trans Sulawesi dari Poso ke Palu rawan longsor, dan sering buka-tutup jalur. Pada saat Op