ilustrasi - sebuah lukisan/http://rhiezonx.blogdetik.com |
“Amerika memang bermain di mana-mana. Kali ini permainannya di Mesir mulai terkuak”. Demikian ditulis Abdillah Toha, Mantan Ketua Badan Kerja Sama DPR di Kompas 5 Juli. Pernyataan itu membantu kita untuk mencoba menelusuri poros-poros pergerakan di Mesir. Pada kenyataannya, Mesir adalah penghubung sentral Amerika bersama Israel untuk bermain di Timur Tengah, kawasan urat nadi sekaligus lubang hitam bagi bangsa Amerika. Minyak melimpah di sana juga sarang musuh bebuyutan negeri Paman Sam, Osama Bin Laden.
Diungkapkan Abdillah Toha bahwa Amerika memperlihatkan muka duanya saat pergolakan Mesir memanas. Alih-alih menghargai dan mendukung keinginan masyarakat Mesir memiliki pemerintahan demokratis dan bersih tapi sesungguhnya mendikte Mesir agar tidak hilang kontak negeri Piramida tersebut.
Bagaimanapun juga pada waktunya revolusi tetap dijalankan di atas misi menjungkalkan cenkeraman otoritas. Dictator hingga penjajah bengis pun akan gentar dengan consensus sakti itu. Di Prancis, Iran, Tunisia hingga Indonesia, perjuangan pada jalur revolusi menjadikan rakyat menjadi pemegang kedaulatan mutlak. Pemimpin yang menjadikan Negara sebagai instrument menyengsarakan rakyatnya (sesuai dikatakan Lenin) harus dijatuhkan dengan segala cara. Jika tak ada cara lain maka jalan satu-satunya adalah apapun caranya. Perjuangan pemuda Mesir adalah pembelaan atas kekecewaan moral karena kepemimipinan dictator, kebarat-baratan dan hanya menjadi boneka permainan kapitalis. Suatu bangsa yang telah lama dicatat sejarah semenjak dibawah kekuasaan Praoh tapi kini masih tetap saja tertinggalkan. Peradaban yang sedemikian tua itu tidak mungkin hanya bermimpi akan kesejahteraan dan kemajuan bersama, mimpi perlu pewujudnyataan.
Dalam pergaulan global saat ini, bayang-bayang penjajah selalu ada. Tidak lagi berwujud kolonial tetapi cenderung berwajah munafik. Menawarkan bantuan pembangunan pembangunan luar negeri hingga bertrilun Dollar tetapi nyatanya mengeratkan jangkar untuk terus mengisap isi bumi. Yang namanya eksploitasi tetap saja eksploitasi, pihak pemegang modal terus mengakumulasi modalnya tapi ancaman kelaparan global lambat laun menjadi kenyataan.
Melihat tindak tanduk pemerintahan Hosni Mubarak mengingatkan kita pada rezim Orde Baru di bawah komando Soeharto. Pada era itu sesungguhnya bangsa Indonesia terus-menerus dibawah petunjuk trinitas capital; IMF, World Bank dan WTO. Dibelakang layarnya tetap saja Amerika yang bermain. Hampir satu decade setelah tumbangnya Orde Baru, barulah bangsa kita sedikit demi sedikit lepas dari dikte IMF. Ishak Rafick, Seorang wartawan senior Indonesia menganalogikan bahwa hanya orang bodoh yang datang pada dokter yang sama jika dokter itu sudah salah memberikan obat sebelumnya. Kalau Indonesia tidak bodoh berarti jangan lagi datang minta petunjuk pada IMF dan kroninya.
Pasca Reformasi, kebijakan pemerintah kita sudah lumayan bagus. Paling tidak bangsa kita bisa menghirup sedikit udara segar. Sedikit bisa bergerak dalam jaring utang buah petunjuk mentor IMF.
Kacamata Cermin
Melihat semangat perjuangan pemuda Mesir secara tak sengaja menumbuhkan api perjuangan dalam diri kita. Siapa yang tidak ingin bebas dari dikte pihak lain?, semuanya menginginkannya. Pada dasarnya kita ingin Negara kita mandiri, mandiri dalam mengusahakan kemakmuran rakyatnya. Pergolakan Mesir biarlah menjadi perjuangan milik rakyatnya dan biarlah keberhasilan menjadi keberhasilan milik rakyatnya.
Demikian pula bangsa kita. Jangan lagi jatuh pada lubang yang sama. Biarlah bangsa kita sendiri menyusun strategi secara mendiri untuk tinggal landas. Semangat tinggal landas jangan lagi Nihil. Pada titik ini kita perlu belajar dari Negara China atau Jepang. Rekan se-Asia kita sudah duluan di depan semuanya mereka susun secara mandiri. Bangkit perlahan-lahan kemudian menjadi pemain dalam percaturan global.
Indonesia saat ini masih dibayangi setan utang Negara. Kalau mau bebas berarti siap memutus ketergantungan pada trinitas barat itu. Kemandirian bangsa kita sendirilah yang menjadi motor kekuatan utama. Ingatlah yang disematkan oleh Soekarno yang menentang permainan Kapitalisme barat.
Satu catatan penting sekaligus menjadi peringatan saat ini bahwa walaupun dikte kapitalisme barat sempat menjauh, tapi kini semakin memastikan diri untuk mendekat. Pemerintah kita seolah-olah kembali mencium tangan Amerika. Dalam konteks pergaulan dunia, tidak bisa dibantah bahwa suatu Negara perlu menjalin hubungan kerja sama dengan Negara lain. Perlu jejaring untuk memajukan perekonomian, pendidikan, militer, pertanian dan seterusnya. Tapi untuk tunduk pada dikte Negara adidaya itu berarti membiarkan diri kita kembali dijajah.
Disinilah suatu kacamata dibutuhkan untuk melalukan analisa kritis. Jangan lagi terjungkal pada lubang yang sama. Sekaligus kita butuh cermin untuk melihat jejak rekam masa lalu. Semuanya butuh pembelajaran dan juga optimism untuk terus maju.
Salatiga, 6 Februari 2011 – 12:31 AM
Comments
Post a Comment